Jakarta, JurnalBabel.com – Pemerintah dan DPR telah sepakat melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta ditengah pandemi virus corona atau Covid-19. Mereka hanya menunda pembahasan satu klaster dari 11 klaster yang ada, yakni klaster ketenagakerjaan.
Bertepatan dengan Hari Buruh Internasional yang diperingati hari ini, Presiden DPP Konfederasi Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi), Syaiful Bahri Anshori, mencoba menaker apakah RUU inisiatif pemerintah ini benar-benar untuk kemaslahatan umat dan kesejahteraan rakyat atau justru sebaliknya. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ia memaparkan beberapa hal yang harus menjadi acuan dan pemikiran bersama.
Pertama, Pemerintah mempunyai pandangan filosofis RUU Cipta Kerja di konteks menimbang dan mengingat bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, sejahtera, makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, negara perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak melalui cipta kerja.
Harapan pemerintah pun melalui RUU Cipta Kerja mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi.
Faktanya, kata Syaiful Bahri, RUU Cipta Kerja dari penjelasan Pemerintah sebagaimana disampaikan ke DPR, jelas terlihat lebih menitikberatkan pada persoalan mempermudah investasi dan mempermudah perijinan berusaha (80 Pasal dari 163 Pasal substansi).
Menurutnya, hal ini perlu dikaji lebih serius, karena persoalan investasi dan perijinan tidak selalu berkorelasi simetris dengan pembukaan lapangan kerja bagi rakyat.
“Perlu dicermati, rancangan peraturan-peraturan di dalamnya untuk memperluas lapangan kerja atau secara signifikan dalam jangka panjang, justru dapat merugikan bangsa dan negara, seperti dalam hal eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam yang dapat mewariskan permasalahan bagi anak cucu kita,” ungkap Syaiful Bahri Anshori dalam keterangan tertulisnya, Jumat (1/5/2020).
Kedua, RUU Cipta Kerja yang di dalamnya menjelaskan kemudahan berusaha, tentu perlu mempertimbangkan kemudahan berusaha bagi seluruh masyarakat tanpa mengabaikan aspek daya dukung lingkungan dan afirmasi terhadap para pelaku usaha baru dari kelompok UMKM.
“Selain itu, perkoperasian tidak dimasukan dalam ketentuan umum. Sementara dalam kluster kemudahan berusaha ada koperasi,” ujar Syaiful menyesalkan.
Ketiga, harus mempertimbangkan sinkronisasi dan harmonisasinya dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena banyak sekali atas nama kemudahan investasi kewenangan menteri dan pemerintah daerah ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat yang dalam RUU Cipta Kerja ini pemerintah pusat adalah Presiden. Jangan semata-mata hanya pertimbangan investasi.
Syaiful Bahri menilai UU yang mengubah berbagai kewenangan yang di dalamnya, jelas tidak memberikan kepastian hukum bagi aparaturnya seperti Menteri-menteri dan/atau Pemerintah Daerah harus dilakukan dengan hati-hati.
“Perubahan terhadap kesepakatan dalam pembagian kewenangan kepada menteri-menteri dan Pemerintah Daerah sebagai tindaklanjut penataan kewenangan otonomi seluas-luasnya sebagaimana diatur dalam UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah, harus dipertimbangkan secara matang agar tidak memunculkan gejolak daerah-daerah,” katanya.
Keempat, dalam kluster ketenagakerjaan, di pembukaan pemerintah menjelaskan RUU Cipta Kerja ini untuk meningkatkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Akan tetapi dalam batang tubuh, justru mempermudah Tenaga Kerja Asing (TKA) masuk Indonesia tanpa Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), menghapus pasal outsorcing dan perjanjian kerja antar waktu (PKWT), mengurangi ketentuan pesangon yang awalnya diatur UU dikembalikan ke perundingan perjanjian kerja sama (PKB) serta masih banyak lagi pasal-pasal yang tidak mencerminkan perlindungan pekerja dan peningkatan kesejahteraan.
Kelima, setiap perubahan kebijakan, baik menyangkut regulasi (legislasi), maupun keuangan (anggaran), patut kita lihat kembali dalam penjelasan UUD 1945 yang menyatakan kedudukan rakyat dalam menentukan keuangan dan pembelanjaan anggaranya sangat kuat yang terwakili oleh DPR.
Dalam hal ini, maka tidak selayaknya kebijakan yang strategis baik regulasi maupun keuangan, termasuk pembagian kewenangan pengaturan keuangan hanya semata-mata dilakukan oleh pemerintah.
“Hal-hal mendasar, penting, dan strategis harus dituangkan dalam UU dan tidak selayaknya atas RUU ini, hal-hal tersebut agar diserahkan kepada Peraturan Pemerintah yang jelas hanya menjadi kewenangan eksekutif,” katanya.
Syaiful Bahri menyimpulkan bahwa justru demi kemaslahan dan kesejahteraan rakyat, RUU Cipta Kerja harus ditinjau ulang isi dan mekanisme pengajuannya agar sesuai dengan UUD 1945. Pemerintah juga harus mendengarkan suara masyarakat, dimana RUU cipta kerja ini mekanisme dan substansinya harus di lakukan secara transparan sesuai dengan pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan perundang undangan. (Bie)