Surat Edaran (SE) Kapolri dalam kasus pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Trasanksi Elektronik (UU ITE) sudah tepat dengan tujuan hukum, dan harus didukung karena sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pemanfaatan ruang digital informasi.
Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif, yang diteken Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada 19 Februari 2021 untuk jadi pedoman bagi para penyidik dalam menerima kasus-kasus UU ITE.
SE Kapolri tersebut salah satunya juga akan diatur terkait laporan bersifat delik aduan yang hanya bisa dilakukan oleh korban secara langsung. Terhadap hal ini perlu didukung guna menghindari tumpukan laporan dan kesannya fenomena saat ini para pihak berperkara asal lapor.
Ke depan perkara yang menggunakan UU ITE harus mengutamakan penyelesaian melalui mediasi antara pelapor dan terlapor, termasuk tersangka yang minta maaf tidak akan ditahan di tingkat kepolisian guna mendorong dan mewujudkan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Delik yang memberikan batasan kewenangan untuk melakukan penuntutan karena dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut, otortitasnya ada pada persetujuan dari pihak yang dirugikan dalam hal ini korban, karena korbanlah yang dapat menilai tentang konten atau bagian mana dari Informasi atau dokumen Elektronik yang ia rasa telah menyerang kehormatan atau nama baiknya.
Oleh karena itu sangat penting perlindungan hukum diberikan kepada korban, dan hak korban inilah yang harus dijaga. Bukan pula kepada orang lain karena orang lain tidak dapat menilai rasa yang sama seperti penilaian dan yang dirasa korban, malah orang lain ini bisa jadi “penumpang gelap” yang ikut nebeng atas sebuah masalah.
Misal jika dilihat pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pidana dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal ini baru dapat dituntut sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan.
Delik aduan ini juga diperkuat setelah adanya perubahan ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik dalam
UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang merupakan tindak pidana pencemaran dan atau penghinaan nama baik adalah delik aduan. Norma hukum ini juga telah dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008, dimana Putusan tersebut terkait penegasan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan.
Jadi regulasi UU ITE yang direvisi sudah sejalan dan patut di dukung SE Kapolri dimaksud, karena dalam perkara pidana, polisi lah sebagai pintu gerbang pertama yang berwenang dalam memilah dan menentukan sebuah peristiwa pidana atau bukan. SE Kapolri ini jadi pedoman dalam kasus ITE tersebut dan sesuai sebagaimana dalam KUHAP, di mana polisi sebagai penyelidik dapat mengadakan tindakan lain yang menurut hukum bertanggung jawab (Pasal 5 angka 1 a4). Dalam hal ini Polri menguatkan dalam kasus ITE harus korban langsung yang melaporkan.
Azmi Syahputra
Dosen Hukum Pidana universitas Bung Karno Jakarta