Jakarta, JurnalBabel.com – Pakar komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio (Hensa) menilai pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal pada Mei 1998 hanya sebatas rumor, tidak berdasar dan menunjukkan lemahnya proses riset sebelum menyampaikan informasi ke publik.
“Secara teori, yang harus dilakukan oleh siapa pun yang berkomunikasi adalah riset terlebih dahulu. Pemerintah seharusnya melakukan riset ulang sebelum menyampaikan hal-hal tertentu kepada masyarakat,” kata Hensa melalui kanal YouTube pribadinya, Kamis (19/6/2025).
Pendiri lembaga survei Kedai KOPI itu mengaitkan hal ini dengan tantangan komunikasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Pak Prabowo berkali-kali menyebut bahwa salah satu tantangan pemerintahannya adalah komunikasi. Menurut saya, Fadli Zon perlu lebih banyak menerima masukan sebelum bicara ke publik,” ujarnya.
“Mungkin agak lupa Fadli Zon, tadinya fungsinya sebagai legislatif kemudian jadi eksekutif (menteri),” sambung Hensa.
Sekedar informasi, sebelum menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Fadli Zon menjabat sebagai Anggota MPR/DPR RI dari 1997 sampai 2024.
Ia juga mengungkapkan pengalamannya secara langsung terlibat dalam tim strategi komunikasi Komnas Perempuan pada masa pasca reformasi.
Hensa menegaskan, banyak bukti dan dokumentasi yang menunjukkan bahwa kekerasan seksual benar-benar terjadi saat kerusuhan Mei 1998.
“Saya tahu persis Komnas Perempuan melakukan pendampingan kepada para korban,” katanya.
Soal kemungkinan permintaan maaf dari Fadli Zon, Hensa menilai hal tersebut penting jika memang ada kesalahan.
“Kalau salah ya harus minta maaf. Tapi apakah pejabat kita berani minta maaf? Nah, itu yang kita tunggu, karena banyak sekali yang terluka oleh peristiwa itu,” pungkasnya.