Jakarta, JurnalBabel.com – Kepala Badan Pengkajian Strategis Partai Buruh, Said Salahudin, menilai tanpa langkah konkret untuk menyoalnya, kritik Ketua DPR RI Puan Maharani terhadap penerbitan Permenaker JHT hanya akan dianggap sebagai sebuah kelatahan politik.
“DPR tidak cukup bekerja dengan narasi, tetapi juga harus disertai aksi. Kalau ada kebijakan pemerintah yang dipandang melawan konstitusi, hal itu semestinya diproses lewat penggunaan Hak Interpelasi,” kata Said Salahudin dalam keterangan tertulisnya, Kamis (17/2/2022).
Menurut Said, Kritik Ketua DPR Puan Maharani terhadap pengaturan tata cara pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (Permenaker 2/2022), jauh dari memadai.
Sebagai pimpinan legislatif, lanjut Said, semestinya Puan Maharani paham bahwa fungsi kontrol DPR terhadap pemerintah tidak cukup disampaikan lewat kritik. Sebab kritik itu domainnya rakyat, bukan levelnya Wakil Rakyat. Dalam skema demokrasi, tugas parlemen bukan mengkritisi, tetapi mengoreksi.
“Jadi, kalau Permenaker 2/2022 dianggap perlu diperbaiki, maka dalam merespons beleid itu Ketua DPR seharusnya lebih mengedepankan mekanisme yuridis konstitusional sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945,” tegasnya.
Lebih lanjut Said menjelaskan dalam norma tersebut tegas dinyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsinya DPR diberikan hak oleh konstitusi untuk antara lain mengajukan Hak Interpelasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah terkait suatu kebijakan penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Said mengatakan, JHT jelas persoalan yang penting, strategis, dan berdampak yang luas karena selain menyangkut nasib ratusan juta buruh, ada dana kelolaan senilai 372,5 triliun rupiah disitu.
“Nah, mengapa tidak hak konstitusional itu saja yang digunakan oleh Ibu Puan dalam menyoal Permenaker 2/2022? Sebagai Ketua DPR saya kira posisi beliau sangat strategis untuk menginisiasi penggunaan Hak Interpelasi terkait kebijakan JHT,” jelasnya menegaskan.
Said menandaskan kalau dalam pelaksanaan Hak Interpelasi itu ditemukan adanya motif atau kepentingan tertentu dari Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah atas penerbitan Permenaker tersebut, maka DPR tidak saja harus mendorong pencabutan aturan tersebut.
“Tetapi juga perlu merekomendasikan kepada Presiden untuk memberhentikan bawahannya itu,” pungkasnya. (Bie)