Jakarta, JurnalBabel.com – Masyarakat anti Korupsi (MAKI) resmi mengajukan praperadilan melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pemberhentian supervisi dan penyidikan pencarian ‘King Maker‘ atau aktor intelektual dalam kasus korupsi Jaksa Pinangki pada Senin (23/8/2021) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dengan Nomor Perkara: 83/PID.PRAP/2021/PN.JKT.SEL.
Dosen hukum pidana Universitas Trisakti Jakarta, Azmi Syahputra, mengatakan MAKI sudah pernah mengajukan praperadilan dan dikabulkan, sehingga tidak ada masalah jika mengajukan praperadilan lagi dalam kasus ini, karena pengajuan prapid oleh pihak ketiga didasarkan pasal 80 KUHAP yang telah ditafsirkan dalam putusan MK No 76/PUU-X/2012.
“Jadi dasar hukumnya ada, sehingga langkah MAKI sudah tepat untuk diuji dalam praperadilan sebagai usaha menegakkan hukum pidana materil yang selalu bersandar pada ruang ketentuan hukum acara formil. Dalam hal ini tahu siapa dalang intelektual maupun siapa saja pelaku yang harus bertanggungjawab atas kasus Djoko Tjandra dan Jaksa Pinangki,” kata Azmi Syahputra dalam keterangan tertulisnya, Rabu (25/8/2021).
Lebih lanjut Azmi mengatakan hal Ini juga sebagai upaya menguji aparat penegak hukum dalam posisi yang netral. Termasuk mendorong akuntabilitas proses penegakan hukum atas kasus yang menjadi perhatian masyarakat luas ini.
Selain itu, jelas Azmi, Praperadilan tidak harus selalu dimaknai secara dogmatic sebagaimana bunyi dari sebuah Undang Undang (UU), tetapi lebih dari itu harus memperhatikan, mencermati, menggali fakta-fakta sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Apalagi dalam kasus ini karakteristiknya dilakukan oleh orang intelektual yang berada dalam lingkar berprofesi hukum, karena kepastian hukum tidak selalu mencerminkan keadilan.
“Disinilah pentingnya melalui sidang praperadilan yang bersifat terbuka untuk umum agar hakim berani menggali dan melakukan terobosan hukum demi kehormatan hukum, sebab harus tuntas suatu perkara dalam hal ini ungkap siapa King Makernya, siapa pengendali dan pemutus atas kejahatan dalam jabatan ini,” jelasnya.
Menurutnya, keadilan yang dikehendaki oleh hukum tidak sekedar dalam konseptual, melainkan harus dapat menyentuh perasaan hukum dalam masyarakat akibat aparat hukum yang melanggar kewajiban hukum dan sumpah jabatannya.
“Ini kejahatan serius jadi harus dituntaskan sampai akar akar pengendalinya,” tegasnya.
Sebab itu, Azmi menilai penghentian supervisi semestinya bisa masuk dalam objek praperadilan. Pasalnya, supervisi merupakan bagian dari proses penyidikan.
“Maka dengan penghentian supervisi sama artinya menghentikan proses hukum guna mencari lebih lanjut pada pihak-pihak yang dapat diminta pertanggungjawaban hukum dalam kasus Jaksa Pinangki terkait Djoko Tjandra,” ujarnya.
“Karenanya relevanlah praperadilan dijadikan sebuah instrumental untuk menguji penghentian supervisi KPK, mengingat belum ada ruang hukum lain agar penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya untuk selalu memegang teguh prinsip kehatian hatian, bertanggung jawab dan tidak tebang pilih termasuk terhindar dari tindakan sewenang-wenang,” sambungnya.
Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum (Alpha) ini menandaskan wadah praperadilan ini juga sebagai bentuk pengawasan eksternal sekaligus koreksi terhadap kewenangan yang dimiliki oleh aparat penegak hukum.
“Dalam kasus ini Kejaksaan dan KPK dalam menjalankan tugasnya agar menjalankan kewenangan lebih baik dalam kerangka optimalisasi kerja kelembagaan pidana sebagai suatu sistem dalam upaya penegakan hukum yang berkualitas,” pungkasnya. (Bie)