Jakarta, JurnalBabel.com – Berbagai kekonyolan pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) terungkap. Salah satunya Presiden Joko Widodo atau Jokowi belum menandatangani UU KPK hasil revisi karena adanya salah ketik atau typo di dalam naskah salah satu pasal.
Salah ketik ada di Pasal 29 yang mengatur syarat menjadi pimpinan KPK. Di sana tertulis angka “50”—usia minimal agar bisa jadi pimpinan KPK—namun tertulis dalam huruf: “empat puluh tahun.” “Berumur sekurang-kurangnya 50 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan,” begitu bunyi poin e pasal 29 UU KPK hasil revisi.
Ahli hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad, menilai typo dalam naskah UU KPK hasil revisi merupakan satu upaya yang kemudian mencoba mengulur waktu tentang melihat respon reaksi publik. Pasalnya, lanjut Suparji, pembahasan revisi UU KPK itu dilakukan bersama-sama antara pemerintah dan DPR.
“Ini cukup ironi karena produk yang sangat penting. Padahal dibahas melibatkan ahli, pemeritah, DPR dan lainnya. Sehingga ada semacam penilaian publik yang terburu-buru pembahasannya,” kata Suparji Achmad saat dihubungi, Jumat (9/10/2019).
Menurut Suparji, hal ini juga memberikan peluang untuk menpersoalkan masalah ini. Pasalnya, hal teknis seperti ini berdampak pada substansi. “Titik, koma mempunyai makna yang berbeda,” ujarnya. Namun ia berpandangan masalah ini tidak perlu diperpanjang. Bahkan tidak perlu sampai membahas ulang revisi ini.
“Tidak perlu dibahas ulang. Busa diselesaikam menurut saya tidak perlu diperpanjang lagi,” katanya.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini menegaskan adanya alibi opini bahwa gagasan revisi UU KPK sudah dibahas sejak lama dengan adanya fakta jejak digital. Dimana pada 2017 ada penyataan dari pemerintah bahwa UU KPK ini ditunda pembahasannya. Bukan dibatalkan.
Artinya bahwa pemerintah dan DPR mengambaikan ini bukan tergesa-gesa ada juga terkesan terburu-buru itu tidak bisa terbantahkan. “Ini ironi, faktanya terburu-buru,” tegasnya. Sebab itu Suparji menyarankan Presiden Jokowi bertemu dengan DPR untuk konsultasi mengenai masalah ini. Apalagi pada 20 Oktober mendatang Presiden Jokowi direncanakan akan dilantik oleh MPR sebagai Presiden periode 2019-2024.
“Apa sih susahnya buat konsultasi agar sikap yang sama dan tidak saling lempar tanggungjawab,” pungkasnya. (Joy)
Editor: Bobby