Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi I DPR Syaiful Bahri Anshori meminta para menteri di pemerintahan Presideb Jokowi harus kompak dalam menghadapi klaim China di laut Natuna. Pasalnya, kata Syaiful, klaim tersebut bukan persoalan kecil karena berkaitan dengan kedaulatan Indonesia.
“Saya minta para pejabat/menteri jangan menganggap hal ini menjadi persoalan kecil, karena ini persoalan kedaulatan RI. Jangan mengecilkan persoalan yang besar dan jangan membesarkan persoalan yang kecil,” ujar Syaiful Bahri Anshori saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (4/1/2020).
Badan Keamanan Laut atau Bakamla sebelumnya menjelaskan adanya pelanggaran atas zona ekonomi eksklusif atau ZEE Indonesia di perairan utara Natuna, Kepulauan Riau, pada Desember 2019. Kejadian ini bermula saat kapal penjaga pantai pemerintah China muncul di perbatasan perairan.
Saat muncul di laut Indonesia, coast guard China menjaga beberapa kapal ikan yang sudah masuk di dalam ZEE Indonesia. Saat itu, keberadaan mereka diketahui oleh KM Tanjung Datu 301 milik Bakamla. Saat diusir, kapal China menolak dengan beralasan mereka berada di wilayah perairan milik sendiri.
Lebih lanjut politisi Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB ini mengatakan alasan permintaannya tersebut karena adanya pernyataan dari Menteri Koordinator (Menko) Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, pada Jumat kemarin, yang meminta permasalahan dengan China di perairan Natuna jangan diributkan. Alasannya makin ribut akan membuat investasi terganggu.
Syaiful tidak sependapat dengan pernyataan Luhur Pandjaitan tersebut. Baginya masalah Natuna ini tanpa di besar-besarkan memang masalah besar. Menurutnya, persoalan cara penyelesaiannya denga cara yang baik, dengan cara deplomatik, bukan dengan cara kekerasan itu soal lain.
“Jadi soarang pejabat hati-hatilah kalau berstatmen. Kalau saja persoalan kedaulatan dianggap kecil atau jangan di besar-besarkan, lalu apa yang dimaksudkan persoalan besar bangsa ini?,” katanya mempertanyakan.
Tidak hanya Menteri Luhur yang dikritik oleh Syaiful Bahri. Pernyataan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto yang meminta semua pihak harus tenang, sehingga tidak ada yang terganggu, termasuk investasi dari China. Prabowo juga mengatakan persoalan tersebut akan diselesaikan baik-baik karena China negara sahabat.
“Menhan yang kita anggap tegas, nyatanya ya kayak gitu. Padahal persoalannya sudah jelas,” tuturnya.
Pernyataan Luhut dan Prabowo berbeda dengan pernyataan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang secara tegas tak mengakui klaim China atas wilayah ZEE tersebut. Menurut Menlu, China merupakan salah satu part dari UNCLOS 1982. Sebab itu, sudah menjadi kewajiban bagi Tiongkok untuk menghormati UNCLOS 1982.
Syaiful Bahri menambahkan persoalan yang sudah jelas ia maksud dan sepakat dengam pernyataan Menlu Retno bahwa ZEE atas Natuna sudah didaftarkan menjadi bagian dari kedaulatan Indonesia dan sesuai dengan hukum internasional yakni dalam United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB merupakan lembaga yang menetapkan batas ZEE.
Tidak hanya itu bahwa Keputusan SCS Tribunal 2016 bahwa tidak mengakui seluruh klaim China atas Natuna, selain istilah “relevant waters” yang diklaim oleh RRT (Republik Rakyat Tiongkok/China) tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982.
Selanjutnya, Undang-undang ZEE yakni UU No.5 Tahun 1983 sebagai landasan yang menyatakan sumber daya alam dan kekayaan yang terkandung di dalamnya harus dilindungi, dikelola secara tepat dan bijaksana.
“Menurut saya cara penyelesaiannya dengan cari diplomatik melalui perundingan dan jangan lepas dari tata aturan yang di sepakati oleh dunia internasional. Misal kan kesepakatan UNCLOS 1982, China nggak bisa enaknya sendiri menafsirkan Laut China Selatan,” pungkasnya. (Bie)
Editor: Bobby