Jakarta, JurnalBabel.com – Dugaan laporan masyarakat ke Polsek Padalarang atas tindakan pengancaman berujung pembunuhan yang tidak direspon kepolisian, dapat menambah image deretan penguatan “tagar percuma lapor polisi”.
Demikian dikatakan dosen hukum pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (11/5/2022), menanggapi pembunuhan di Padalarang, Kabupaten Bandung pada Minggu (8/5/2022), yang diduga dilatarbelakangi kandasnya hubungan asmara di antara Wiwin yang merupakan seorang janda dan Mulyadi yang berstatus duda.
Mulyadi membunuh korban dengan menggunakan senjata tajam hingga korban menderita luka parah di bagian perut dan lehernya. Saat ini tersangka Mulyadi masih buron dan tengah dalam pengejaran polisi.
Padahal sebelumnya, pihak keluarga Wiwin bersama Ketua RW setempat telah datang ke Polsek Padalarang pada 3 Mei 2022, melaporkan adanya ancaman pembunuhan oleh Mulyadi. Sayangnya, laporan tersebut tidak diterima karena tidak cukup bukti.
Menurut Azmi, seharusnya polisi bisa langsung jemput pelaku pengancam tersebut karena memenuhi Pasal 368 ayat (1) KUHP menggunakan “kekerasan atau ancaman kekerasan”. Termasuk delik Pasal 369 ayat (1) KUHP menggunakan “ancaman pencemaran atau akan membuka rahasia”.
“Jadi bila keluarga pelapor sudah ke kantor Polsek apalagi ada saksinya ketua RW, telah pula menceritakan dan terlihat ada warga yang takut atas ancaman pelaku yang berniat untuk menyakitinya, mengancam jiwa pelapor, sehingga semestinya laporan ini harus ditelaah, diterima dan ditindak lanjuti segera, karena hal tersebut merupakan lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya polisi. Maka tidak ada alasan untuk tidak menerima laporan masyarakat, apalagi terhadap peristiwa ancaman yang dialami korban yang kini mengakibatkan korban pelapor tewas,” kata Azmi Syahputra.
Lebih lanjut Azmi meminta divisi profesi dan pengamanan Polres maupun Polda Jabar untuk memeriksa dan mengenakan sanksi bagi anggota piket, Kanit termasuk Kapolsek Padalarang atas sikap abai dan ketidakprofesionalismenya tersebut.
“Jadi anggota kepolisian tidak boleh menolak atau mengabaikan pengaduan masyarakat dan dilarang mempersulit masyarakat yang membutuhkan perlindungan serta pelayanan kepolisian. Jangan sampai akibat ulah perilaku oknum merusak kinerja organisasi yang terus berbenah, ini melukai program Presisi Polri,” tegasnya.
Azmi menambahkan Divisi Propam dalam pemeriksaannya jika menemukan unsur kesalahan dan abai atas tugas, maka anggota kepolisan Padalarang yang bertugas pada waktu laporan warga tersebut ditolak harus dikenai tindakan tegas.
“Copot dan mutasikan termasuk kenakan sanksi maksimal bagi perbuatan polisi yang melanggar kode etik ini berupa permohonan maaf, mengikuti pembinaan mental, penurunan jabatan, dimutasi, termasuk memungkinkan pula kenakan pemberhentian dari kepolisian,” pungkasnya. (Bie)