Sulit untuk mengatakan tidak ada korelasi antara penerbitan perpres yang menyediakan dua jabatan wamen dan pengesahaan UU Omnibus Law.
Dilihat dari tempusnya, Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2020 Tentang Kementerian Ketenagakerjaan (Perpres 95/2020) dan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2020 Tentang Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Perpres 96/2020) dibentuk 10 hari sebelum Undang-Undang Tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) disahkan.
Perpres yang masing-masing mengatur adanya jabatan baru, yakni jabatan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) dan Wakil Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan menengah (Wamenkop UKM) itu diundangkan tanggal 25 September 2020, sedangkan UU Ciptaker disahkan secara materiel di DPR tanggal 5 Oktober 2020.
Nah, secara politik kedua peristiwa yang berdekatan waktunya itu sangat mungkin memiliki korelasi. Apa hubungannya? Ada lima kemungkinan. Pertama, jabatan wamen dipersiapkan untuk ditawarkan kepada pimpinan buruh yang menolak omnibus law.
Kemungkinan itu disuarakan oleh sejumlah pihak yang berusaha mengaitkan peristiwa pemanggilan dua pimpinan buruh oleh Presiden beberapa saat sebelum UU Ciptaker disahkan. Tetapi saya menilai dugaan yang pertama ini memiliki probabilitas yang rendah.
Saya sudah tanyakan langsung soal ini kepada Presiden KSPI Said Iqbal. Dia memastikan itu ‘hoax’. Sejujurnya dia mengatakan pertemuan pimpinan buruh dengan Presiden murni membahas soal poin-poin keberatan kelompok buruh terhadap materi muatan omnibus law.
Soal pertemuan itu terbilang mendadak karena pada 5 Oktober pagi tersiar kabar DPR hendak memajukan pengesahan RUU Ciptaker menjadi undang-undang pada hari itu juga. Hal tersebut diluar prediksi para pimpinan buruh.
Karena buruh menilai ada unsur kegentingan disitu, maka pimpinan mereka merasa perlu bertemu Presiden guna meyakinkan kembali dan memohon kebijaksanaan dari Presiden agar membatalkan omnibus law, atau setidaknya menunda pengesahannya sambil membuka kembali ruang dialog.
Nah, rupa-rupanya Presiden kan tidak mengabulkan permohonan itu. Praktis tidak ada kesepakatan apapun dari pertemuan tersebut.
Soal tawaran jabatan memang saya pernah mendengar. Beberapa kawan memberitahukan Iqbal pernah ditawari untuk memimpin sebuah lembaga pemerintah nonkementerian. Tetapi tawaran itu sudah lama. Kira-kira masih diawal-awal periode pemerintahan sekarang. Jauh sebelum ada isu penolakan RUU Ciptaker. Dan dia menolak tawaran itu secara sopan.
Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea juga sudah mengonfirmasi bahwa sama sekali tidak ada pembahasan soal posisi wamen saat bertemu Presiden.
Seandainya pun ada penawaran posisi wamen, saya kira kecil kemungkinan Andi mau menerimanya. Andi itu kelasnya menteri. Dulu dia bahkan nyaris diangkat sebagai menteri sebelum akhirnya terpental akibat intrik dari salah satu partai politik.
Kalau cuma jabatan wamen, saya kira Andi bisa dengan gampang mendapatkannya kalau saja dia mau. Hubungan persahabatnnya dengan Presiden kan erat sekali. Mungkin dia jauh lebih dekat dengan Jokowi daripada Luhut Binsar Panjaitan. Hanya saja dia bukan tipe orang yang haus pada jabatan.
Setahu saya, diawal periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi dia bahkan sudah pernah ditawari posisi wamen. Tetapi tawaran itu dia tolak secara halus. Kalau jabatan yang ditawarkan itu strategis dan bisa menjadi alat baginya untuk memperjuangkan nasib buruh, mungkin saja dia akan pertimbangkan.
Jadi, saya termasuk yang tidak yakin pada kemungkinan yang pertama itu. Maka, perlu juga dilihat pada kemungkinan yang kedua.
Dugaan kedua, dua jabatan wamen yang masing-masing dibentuk melalui Perpres 95/2020 dan Perpres 96/2020 tersebut memiliki keterkaitan dengan proses politik omnibus law di DPR. Ada kemungkinan, dua posisi itu sengaja disiapkan pemerintah untuk mempengaruhi parpol yang dipandang memiliki kecenderungan akan menolak pengesahan UU Ciptaker.
Jadi, kursi wamen itu sengaja diciptakan sebagai iming-iming belaka. Pemerintah seolah ingin memberi pesan kepada parpol: kalau ‘you’ loloskan omnibus law, kami punya dua slot kursi kosong di kementerian.
Karena bersifat rayuan, maka bisa saja dua kursi wamen itu diciptakan sebagai ‘jebakan batman’. Artinya, kursi wamen tidak sungguh-sungguh akan diberikan sekalipun parpol bersangkutan sudah mengubah sikap politiknya mendukung omnibus law.
Nah, masuk perangkap deh tuh partai. Alih-alih dapat jatah wamen, mereka justru akan mendapat stigma buruk dari masyarakat karena lebih mementingkan jabatan daripada nasib rakyat.
Jika partai yang hendak dipikat itu PKS dan Partai Demokrat, maka jelas strategi itu telah gagal total. Sebab, kedua partai tersebut telah menunjukan ketegasannya menolak pengesahan RUU Ciptaker menjadi undang-undang.
Jadi, kalau skenario pada kemungkinan yang kedua ini benar adanya, maka PKS dan Demokrat telah berhasil lolos dari ‘jebakan batman’ tersebut.
Sedangkan pada kemungkinan yang ketiga, jabatan wamen mungkin saja memang sudah dipersiapkan untuk parpol tertentu yang sebelumnya telah membuat kesepakatan dengan Presiden.
Kan bisa saja ada ‘deal-deal’ politik yang sudah dirancang sebelumnya antara pemerintah dan parpol tertentu dalam rangka memuluskan pengesahan omnibus law di DPR.
Soal yang beginian kan publik sudah pahamlah dengan tabiat parpol yang kerap membarter dukungannya kepada pemerintah dengan imbal-balik kursi di kementerian.
Nah, mungkin saja skenarionya parpol menuntut Presiden untuk lebih dahulu menerbitkan Perpres soal posisi wamen, sebelum parpol bersangkutan menyatakan sikap mendukung pengesahan RUU Ciptaker. Jadi itu semacam jaminan yang dipersyaratkan oleh parpol kepada Presiden.
Untuk menguji kemungkinan yang ketiga ini, nanti kita lihat: siapa parpol yang kelak dapat jatah kursi Wamenaker dan Wamenkop UKM.
Selain dari pada itu, ada juga kemungkinan yang keempat. Disamping soal barter jabatan, parpol-parpol yang mendukung pengesahan omnibus law mungkin saja mendapatkan uang atau materi lainnya dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengesahaan undang-undang tersebut.
Dalam praktik pembentukan undang-undang di DPR, soal itu sudah jadi rahasia umum. Lihat saja kasus-kasus korupsi yang telah diputus oleh pengadilan dan terbukti melibatkan Anggota Dewan. Termasuk ada undang-undang yang belakangan diketahui memuat pasal siluman atas pesanan pihak tertentu. Dari sini indikasi dari kemungkinan yang keempat bisa dimajukan.
Kemungkinan yang kelima, terlepas soal barter jabatan dan praktik transaksional yang bersifat koruptif, mungkin juga Anggota DPR yang berasal dari fraksi-fraksi yang setuju atas pengesahan omnibus law sebetulnya memiliki kepentingan tersembunyi.
Data menunjukan, pada saat Anggota DPR Periode 2019-2024 dilantik, ada 262 Anggota yang berprofesi sebagai pengusaha. Itu artinya, hampir 46 persen kursi DPR diduduki oleh para pemilik modal alias para cukong.
Angka itu sekarang mungkin saja sudah bertambah melampaui separuh jumlah kursi parlemen. Sebab, seolah sudah menjadi tradisi mereka yang menduduki posisi penting kenegaraan biasanya akan langsung terjun ke dunia bisnis. Kalau para ketua umum parpol jangan ditanya deh. Rata-rata dari mereka adalah para pengusaha besar.
Nah, oleh karena UU Ciptaker dianggap menguntungkan bagi para pelaku bisnis, maka para Anggota DPR yang merangkap sebagai pengusaha itu mungkin saja ingin mengamankan kepentingan usahanya, sehingga sanggup mengalahkan kepentingan rakyat demi kepentingan pribadi dan kepentingan kelompoknya.
Said Salahudin,
Pemerhati Kenegaraan/
Direktur Sinergi masyarakat untuk demokrasi Indonesia (Sigma)