Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi IX DPR Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN), Ashabul Kahfi, meminta Pemerintah wajib segera menjalankan dan menyesuaikan putusan Mahkamah Agung (MA) terkait kebijakan pengadaan vaksin ketiga atau booster Covid-19 halal.
“Sebagai negara hukum, putusan MA wajib dijalankan pemerintah. Kemenkes (Kementerian Kesehatan) sudah harus menyesuaikan kebijakan dengan putusan ini,” kata Ashabul Kahfi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (22/4/2022).
Disatu sisi, Ashabul Kahfi menilai kebijakan Pemerintah di masa awal pandemi yang tidak sepenuhnya menyediakan vaksis halal bagi masyarakat tidak bisa juga disalahkan. Pasalnya, Pemerintah sudah berjuang menyelamatkan jiwa manusia untuk mendapatkan vaksin apapun yang dianggap efektif mengatasi Covid-19.
“Salah satu tujuan agama adalah melindungi jiwa manusia dari kebinasaan. Sehingga pada masa awal covid, saat vaksin masih terbatas, vaksin yang mungkin mengandung unsur haram, dibolehkan digunakan. MUI (Majelis Ulama Indonesia) pun sudah melegitimasi itu,” jelasnya.
Untuk saat ini dan ke depan, lanjut Ashabul Kahfi, sudah banyak varian vaksin, bahkan yang halal pun sudah ada. Permasalahannya, ungkap dia, Pemerintah sudah terlanjur membeli vaksin non halal dalam skala besar.
Sebab itu, legislator asal Sulawesi Selatan ini memberikan solusi dan saran kepada Pemerintah bahwa vaksin yang mengandung unsur haram bagi umat muslim, bisa dikirim ke negara-negara mayoritas non muslim.
“Saya pikir Pemerintah sudah paham strategi menyiasatinya,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, MA memenangkan gugatan uji materi yang diajukan Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI).
Uji materi itu terkait Pasal 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19.
Konsekuensi dari putusan itu, pemerintah mesti memastikan kehalalan vaksin Covid-19 untuk masyarakat.
“Pemerintah (Menteri Kesehatan, Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan) wajib memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan jenis vaksin Covid-19 yang ditetapkan untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 di wilayah Indonesia,” demikian amar putusan MA dikutip dari situs web resminya, Kamis (21/4/2022).
MA menilai, Pasal 2 Perpres Nomor 99 Tahun 2020 itu bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi yaitu Pasal 4 Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Dalam amar putusan pun disampaikan, Perpres itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika tidak dapat menjamin kehalalan vaksin Covid-19 tersebut.
Bahkan, dalam pertimbangannya, para hakim agung menyatakan, pemerintah tak boleh memaksa masyarakat untuk mengikuti vaksinasi baik dengan alasan darurat wabah pandemi Covid-19 serta keselamatan rakyat.
“Pemerintah dalam melakukan program vaksinasi Covid-19 tidak serta merta dapat memaksakan kehendaknya kepada warga negara untuk divaksinasi dengan alasan apa pun dan tanpa syarat,” bunyi isi pertimbangan MA.
“Kecuali, adanya perlindungan dan jaminan atas kehalalan jenis vaksin Covid-19 yang ditetapkan, khususnya terhadap umat Islam,” demikian bunyi pertimbangan tersebut.
Dalam perkara ini, Presiden Joko Widodo sebagai termohon wajib membayar biaya perkara sebesar Rp 1 juta.
Sebelumnya, YKMI mempersoalkan ketentuan halal dalam jenis vaksin untuk dosis ketiga. YKMI menerangkan hanya jenis vaksin Sinovac saja yang bersertifikat halal dari MUI.
Sementara AstraZeneca, menurut Fatwa MUI Nomor 14/2021, disebutkan mengandung bahan tripsin babi dan haram digunakan umat Islam. Sedangkan jenis vaksin Moderna dan Pfizer sama sekali belum bersertifikat halal.
Sehingga YKMI menilai Perpres 99/2020 bermasalah bagi umat Islam.
(Bie)