Jakarta, JurnalBabel.com – Gejolak harga pangan yang berlarut-larut, bahkan terus naik mendekati Ramadhan, makin menekan kemampuan daya beli masyarakat.
Kenaikan terjadi pada harga sejumlah bahan kebutuhan pokok terutama minyak goreng, kedelai, gula, tepung terigu, telur dan daging ayam, daging sapi, dan cabai.
Gejolak harga menjelang Ramadhan dan Idul Fitri merupakan persoalan yang selalu berulang setiap tahun, seharusnya bisa diantisipasi sejak dini.
Anggota Komisi VI DPR Fraksi PKS, Amin Ak, menilai pemerintah gagal mengendalikan gejolak harga sejumlah komoditas pangan padahal sinyal kenaikan telah muncul sejak November 2021 lalu.
“Pemerintah jangan lagi menggunakan cara-cara biasa dalam mengendalikan gejolak harga pangan yang sudah berlarut-larut dalam beberapa bulan ini,” tegas Amin dalam keterangan tertulisnya, Rabu (30/3/2022).
Secara kelembagaan, pemerintah punya banyak lembaga yang mengatur pangan. Selain kementerian perdagangan dan kementerian pertanian, ada Badan Pangan Nasional, Bulog, juga kita punya BUMN Pangan.
“Namun persoalan klasik seperti tata niaga, rantai pasokan, dan rantai distribusi sampai saat ini belum juga teratasi. Ini artinya urusan pangan tidak bisa lagi diatasi dengan cara biasa-biasa saja. Harus dituntaskan dari akar persoalannya,” kata Amin.
Amin juga meminta pemerintah untuk menunda kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 11 persen agar tidak semakin menekan daya beli masyarakat. Ditengah belum pulihnya pendapatan masyarakat, terutama kelas menengah bawah, maka kenaikan PPN akan makin memberatkan.
Pemerintah juga dinilai tidak berdaya untuk dengan tegas mengatur para importir hingga pelaku usaha lainnya. Regulasinya lengkap, lembaganya juga banyak, maka yang dibutuhkan adalah kemauan politik dan sikap tegas untuk menegakkan regulasi yang ada.
Keterlambatan antisipasi dan ketidaktegasan menegakkan aturan terlihat jelas pada kasus lonjakan harga dan kelangkaan minyak goreng. Berbagai instrumen aturan seperti kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) menjadi tidak efektif karena pemerintah kalah dari eksportir CPO.
Lebih lanjut Amin mengungkapkan, kenaikan harga bahan kebutuhan pokok disebabkan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor-faktor eksternal yang menyebabkan lonjakan harga pangan adalah perubahan iklim dan perang Rusia – Ukraina.
Lonjakan harga kedelai misalnya, dipengaruhi oleh perubahan iklim yang menyebabkan produksi di sejumlah produsen utama seperti Brasil menurun tajam. Akibatnya, terjadi persaingan permintaan dari negara-negara konsumen besar seperti halnya Indonesia.
Kedelai impor selama ini memenuhi 90% kebutuhan bahan baku tempe dan tahu.
Perubahan iklim juga mengakibatkan kekeringan panjang di Australia dan Selandia Baru, dua negara pemasok sapi terbesar untuk Indonesia.
Penurunan produksi sapi di kedua negara tersebut berdampak pada kenaikan harga dan penurunan pasokan terhadap negara konsumen utama seperti Indonesia.
Sedangkan perang Rusia – Ukraina berdampak besar pada kenaikan harga gandum yang merupakan bahan baku tepung terigu. Rusia dan Ukraina merupakan produsen utama gandum dunia.
Sedangkan faktor internal, terutama karena adanya kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan. Lonjakan permintaan telur, daging ayam, cabai, dan beberapa lini produksi pangan seperti telur dan daging ayam sangat tergantung pada pakan impor.
“Dengan melihat faktor-faktor penyebab gejolak harga tersebut, saya berharap pemerintah sudah punya roadmap pengendaliannya, baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang,” pungkasnya. (Bie)