Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR, Amin Ak, mendesak PT Pertamina (Persero) mengatasi kelangkaan bahan bakar solar bersubsidi yang terjadi di berbagai daerah.
Hasil pantauan di lapangan, volume solar bersubsidi di sejumlah SPBU di berbagai daerah berkurang hingga separuhnya dalam beberapa hari terakhir. Hal itu menimbulkan antrean truk di mana-mana.
“Kelangkaan solar bisa berdampak semakin tingginya harga-harga kebutuhan pokok akibat semakin mahalnya biaya logsitik, apalagi ini menjelang Ramadhan dan Idul Fitri. Roda perekonomian pun mandek dan inflasi pun semakin tinggi akibat meroketnya harga kebutuhan rakyat,” kata Amin dalam keterangan tertulisnya, Jumat (1/4/2022).
Ia pun meminta Pertamina tidak mengurangi pasokan atau penyediaan bahan bakar solar dan memastikan tidak adanya penyelewengan solar bersubsidi ke industri, perkebunan, maupun pertambangan.
Menurut Amin, jika memang Pertamina mengalami masalah dengan arus kas perusahaan akibat beban kenaikan harga minyak dunia, solusinya bukan membebani rakyat.
“Karena itu saya mendesak pemerintah agar segera membayar utang kompensasi subsidi BBM sebesar Rp 100 Triliun ke Pertamina. Selain untuk menyehatkan keuangan Pertamina juga mencegah berkurangnya pasokan BBM bersubsidi,” tegas Amin.
Kelangkaan solar terjadi setelah melambungnya harga minyak dunia. Amin khawatir, hal itu ada kaitan dengan beratnya beban keuangan Pertamina karena semakin besarnya selisih antara harga subsidi yang ditetapkan pemerintah dengan harga pokok produksi solar.
Pemerintah berkewajiban memberikan kompensasi atas selisih harga bahan bakar minyak yang dibeli Pertamina di pasar global dengan harga jual ke masyarakat.
Subsidi harga menjadi kewajiban pemerintah untuk mempertahankan harga tidak naik, yakni Rp 7.650 per liter untuk Pertalite dan Rp5.150 untuk solar subsidi.
Berdasarkan simulasi Ditjen Migas Kementerian ESDM, dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) sebesar US$ 69 per barel, maka besaran kompensasi kepada Pertamina untuk penjualan Pertalite (RON 90) diproyeksikan mencapai Rp 39,76 triliun per tahun.
Namun terjadi lonjakan harga minyak akibat perang Rusia dan Ukraina berdampak pada lonjakan kompensasi pemerintah kepada PT Pertamina (Persero) yang diberikan penugasan oleh pemerintah hingga ratusan triliun.
Dengan harga minyak mentah Indonesia (ICP) rata-rata sudah mencapai US$ 90,81 per barel, Amin memperkirakan tekanan terhadap Pertamina akan terus berlanjut.
Ia pun meminta Pertamina dan pemerintah untuk tidak terburu-buru menaikkan harga Pertamax, terlebih dengan kenaikan harga mencapai Rp 16 ribu seperti usulan kementerian ESDM.
Selisih harga yang sangat besar antara Pertamax dan Pertalite, bisa mendorong masyarakat menengah atas mengkonsumsi Pertalite.Pada akhirnya ketersediaan pertalite pun tidak sebanding dengan kebutuhan di lapangan.
Pada saat yang bersamaan, pemerintah sudah memutuskan menghapus bensin premium, maka pada akhirnya rakyat menengah bawah yang paling merasakan dampaknya.
“Jangan sampai rakyat dipaksa menerima harga tinggi, dengan alasan itu lebih baik ketimbang BBM langka seperti yang terjadi pada kasus minyak goreng,” sindir politisi PKS ini. (Bie)