Jakarta, JurnalBabel.com – Wacana penempatan tentara aktif di jabatan sipil kembali muncul ketika Revisi Undang-Undang TNI masuk dalam daftar Prolegnas Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022.
Anggota Komisi I DPR, Sukamta, menolak kembalinya dwi fungsi TNI. Pasalnya, kata dia, wacana kembalinya dwi fungsi TNI bukanlah latar belakang revisi UU TNI, namun revisi ini sebagai upaya perbaikan TNI dan peningkatan pola koordinasi, pembagian tugas yang jelas antara TNI dan POLRI serta memperjelas tugas TNI dalam Operasi Militer Selain Perang.
“Tujuannya untuk memperkuat pertahanan dan keamanan Indonesia,” kata Sukamta dalam keterangan tertulisnya, Rabu (11/8/2022).
Permasalahan menumpuknya ratusan Perwira TNI, lanjut Sukamta, merupakan masalah lama dalam tata kelola manajemen perencanaan TNI yang belum optimal akibatnya banyak yang tidak mendapatkan jabatan.
“Salah satunya jumlah rekrutmen sekolah staf dan komando militer di tiga matra tidak didasarkan pada kebutuhan dan rencana penempatan. Apalagi saat ini batas atas pensiun menjadi 58 tahun akibatnya semakin menambah jumlah perwira TNI aktif. Padahal jumlah jabatan khusus TNI yang disediakan pemerintah hanya 60an. Maka dari itu perbaikan manajemen dan tata kelola perencanaan TNI harus dilakukan dengan baik,” jelasnya.
Wakil Ketua Fraksi PKS Bidang Polhukam ini memaparkan masalah yang akan timbul ketika TNI kembali lagi menjabat di jabatan sipil.
“Wacana penempatan TNI di jabatan sipil bisa mengembalikan dwi fungsi TNI zaman orde baru yang menimbulkan banyak masalah. Pertama, jabatan publik harus didasarkan pada kompetensi teknis ataupun keilmuan bukan bagi-bagi jabatan,” ungkapnya.
Kedua, budaya demokrasi dan profesional dalam lembaga publik akan berubah menjadi militeristik karena tentara terbiasa dengan sistem komando akibatnya kritik atau saran dari masyarakat dan perbaikan terhambat.
Ketiga, pola hubungan senior dengan junior menghambat akuntabilitas dan transparansi lembaga dan pejabat publik.
Doktor lulusan Inggris ini memberikan solusi lain yang sesuai dengan UU TNI.
“Jika tentara ingin masuk ke lembaga pemerintah maka harus mengundurkan diri atau sudah pensiun. Tentara bisa mengikuti seleksi terbuka jabatan publik sehingga tidak ada konflik kepentingan dan benar-benar di uji kompetensinya bersaing dengan masyarakat sipil. Dasarnya kompetensi bukan dengan bagi-bagi jabatan yang bisa merugikan publik,” paparnya.
Sukamta mengingatkan sejarah orde baru dan kejadian beberapa waktu lalu ketika Ombudsman RI sudah menyatakan bahwa penunjukan perwira TNI sebagai pejabat kepala daerah menyalahi UU TNI dan UU Aparatur Sipil Negara.
“Selain itu wacana penempatan TNI di jabatan sipil melanggar TAP MPR Nomor VI dan VII Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dimana peran TNI sebagai alat pertahanan untuk menjaga kesatuan dan kedaulatan negara Indonesia dari berbagai ancaman dari luar dan dalam negeri. Serta menjaga kesatuan wilayah dan keselamatan bangsa,” pungkasnya.
(Bie)