Jakarta, JurnalBabel.com – Ketua Tim Khusus Pemenangan Partai Buruh, Said Salahudin, menilai salah besar Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatur pengurus RT/RW harus mengundurkan diri dari profesinya jika ingin maju sebagai calon anggota legislatif atau caleg) pada Pemilu 2024.
“Permintaan KPU dan KPU Daerah (KPUD) kepada partai politik agar menyertakan bukti surat pemberhentian terhadap caleg yang berprofesi sebagai pengurus RT/RW, menyimpang dari aturan konstitusi dan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu),” kata Said Salahudin dalam keterangannya, Rabu (27/9/2023).
Pasal 240 ayat (1) huruf k dan ayat (2) huruf h UU Pemilu pada pokoknya menyatakan caleg yang berprofesi sebagai direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada BUMN/BUMD atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, diwajibkan mundur dari jabatannya yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.
Menurut Said, pengurus RT/RW jelas bukan direksi, komisaris, atau dewan pengawas BUMD/BUMD. Mereka juga bukan karyawan pemda atau karyawan dari sebuah badan/instansi yang dibentuk oleh pemerintah daerah. Bahkan, RT/RW bukan bagian dari pemerintah, sebab pemerintahan hanya dibentuk sampai tingkat desa/kelurahan.
“Oleh sebab itu, ketika KPU ingin mengaitkan antara profesi caleg dengan sumber keuangan negara, harus dilihat dahulu kedudukan dan kejelasan subjek hukumnya,” ujarnya.
Lebih lanjut ahli hukum tata negara ini mengatakan sekalipun memperoleh bantuan dana dari APBD, tidak dengan sendirinya menyebabkan bacaleg yang berlatar belakang pengurus RT/RW diharuskan mundur dari profesinya ketika akan menjadi caleg.
Dia menegaskan antara karyawan dan sumber keuangan negara harus dibaca dalam satu tarikan nafas. Tidak bisa dimaknai secara sepenggal oleh KPU.
“Dengan demikian, maka ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf k dan ayat (2) huruf h UU Pemilu yang meminta seorang caleg mundur dari profesinya tidak bisa diberlakukan kepada pengurus RT/RW yang menjadi calon anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota,” jelasnya.
Said menegaskan, KPU tidak boleh dengan gampangnya membatasi hak pengurus RT/RW menjadi caleg dengan menentukan persyaratan yang menyimpang dari maksud UU Pemilu dan konstitusi.
“Aturan pencalonan tidak boleh direduksi pada persoalan teknis-administratif yang menjauhkan pemilu dari prinsip kedaulatan rakyat,” ujarnya.
Melalui Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003, tanggal 24 Februari 2004, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan hak untuk dipilih (right to be candidate) adalah hak konstitusional sekaligus hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional, sehingga pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.
Hak untuk dipilih bagi para caleg RT/RW juga dijamin oleh Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), dan dilindungi oleh Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Norma ini harus dibaca secara teliti dan komprehensif. Subjek hukum yang diwajibkan mundur menurut aturan adalah caleg yang berprofesi sebagai direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan,” tegasnya.
(Bie)