JAKARTA, JURNALBABEL.COM– Rancangan Undang-undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan masih menuai pro-kontra. Sejumlah pasal dipersoalkan karena dianggap tak tepat. Protes yang dilayangkan Konferensi Waligereja Indonsia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) terkait Pasal 69 dan 70 dalam RUU tersebut membuat Wakil Presiden Jusuf Kalla buka suara. JK meminta RUU tersebut dikaji kembali.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan, RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, termasuk soal pasal Sekolah Minggu sejatinya dibuat bukan untuk mengekang ibadah.
“Saya membaca protesnya, saya kira patut diperhatikan karena supaya jangan nanti sekolah minggu atau pengajian itu harus semua minta izin nanti ini negara lagi,” kata JK di kantornya, Jalan Merdeka Utara, Selasa (30/10).
Sebelumnya, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) melayangkan protesnya terkait RUU ini. KWI menilai, RUU ini belum merengkuh kepentingan, kekhasan, dan pendidikan keagamaan yang lain.
Sekretaris Kerawan KWI, Romo Paulus Christian Siswantoko, Pr berharap Negara tidak terlalu jauh mengatur urusan teknis pendidikan agama karena setiap agama memiliki kekhasannya masing-masing.
Menurutnya, orientasi pendidikan agama bukan sebatas pada penguasaan ilmu (menjadi ahli) tetapi menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggungjawab sebagai perwujudan pengamalan ajaran, nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan dalam agama.
Senada disampaikan Persekutuan Gereja-gejera Indonesia (PGI). PGI menyoroti soal syarat pendirian pendidikan keagamaan, yaitu memasukkan syarat peserta didik paling sedikit 15 orang serta mendapat izin dari Kanwil Kementerian Agama tingkat kabupaten.
“Sejatinya, Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak membutuhkan izin karena merupakan bentuk peribadahan,” demikian salah satu poin dalam pernyataan resmi PGI yang dilansir Jurnalbabel.com, Rabu (31/10).
Terkait pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi ini diatur dalam pada pasal 69-70. Aturan ini dinilai tak sesuai dengan model pendidikan anak dan remaja gereja-gereja di Indonesia karena model pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi tak bisa disetarakan dengan pesantren.