Jakarta, JurnalBabel.com – Usulan Presiden Prabowo Subianto agar kepala daerah dipilih oleh DPRD dan bukan oleh rakyat memicu perdebatan. Pasalnya, hal itu akan jadi kemunduran bagi demokrasi dan tidak bisa menghilangkan risiko korupsi.
Perdebatan ini muncul setelah pada 5 Desember lalu Prabowo mengusulkan agar pilkada dihapuskan dan diganti pemilihan oleh DPRD.
“Saya mengajak kekuatan politik. Ayo marilah kita berani memberi solusi kepada rakyat kita, demokratis, tetapi jangan buang-buang uang,” ujar Prabowo dalam perayaan ulang tahun ke-61 Partai Golkar di Jakarta.
“Kalau sudah sekali memilih DPRD kabupaten, DPRD provinsi, ya kenapa tidak langsung saja pilih gubernurnya dan bupatinya, selesai,” sambungnya.
Tahun lalu Indonesia menggelar dua pemilu: Pemilihan presiden beserta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada bulan Februari; dan pilkada pada November untuk memilih 37 gubernur, 415 bupati, dan 93 wali kota.
Prabowo berpendapat bahwa pilkada langsung yang dimulai sejak 2005 menjadi “sumber korupsi yang sangat besar” dan menguntungkan kandidat dengan dana kampanye besar.
Selain itu, penyelenggaraan pilkada juga membuat negara harus mengeluarkan anggaran yang luar biasa.
Pilkada November 2024 yang pertama kalinya digelar serentak secara nasional telah menghabiskan anggaran hingga Rp41 triliun, meski seluruh 545 pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dilakukan dalam satu hari pemungutan suara.
Menurut Prabowo, dana sebesar itu bisa dialokasikan untuk keperluan lain. Prabowo sendiri sebelumnya telah menerapkan sejumlah langkah penghematan untuk membiayai berbagai program ambisius yang berpotensi membuat belanja negara melampaui penerimaan.
Per November, defisit anggaran 2025 telah mencapai Rp560 triliun atau 2,35 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengakui tidak bisa memastikan defisit 2025 tetap di bawah batas 2,78 persen PDB yang ditetapkan dalam kerangka anggaran.
Pakar komunikasi politik, Hendri Satrio (Hensa), tidak sepakat dengan usulan Prabowo tersebut. Sebab, ia menilai manfaat pilkada langsung jauh lebih besar daripada biayanya, dan penghapusannya tidak serta-merta akan menekan risiko korupsi.
“Demokrasi tidak boleh dikompromikan hanya karena alasan finansial,” kata Hensa dilansir, Senin (22/12/2025).
Indonesia mulai membenahi tata kelola pemilu setelah Soeharto lengser. Pemilihan presiden langsung pertama digelar pada 2004, lalu setahun kemudian, pilkada langsung pertama dilaksanakan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Dengan supermayoritas dukungan di parlemen, koalisi Prabowo secara teori bisa dengan mudah mengesahkan revisi Undang-Undang Pilkada. Namun dalam praktiknya, Hensa menilai tidak mudah memastikan seluruh anggota koalisi mendukung usulan tersebut.
“Bagi partai-partai kecil, pilkada langsung telah memberi arena persaingan yang lebih setara dengan partai besar,” ungkap Hensa.
Ia menambahkan, Prabowo tampaknya belum sepenuhnya serius mendorong perubahan ini di parlemen.
“Saya kira ia sedang ‘testing the waters’ (tes ombak), ingin melihat bagaimana respons publik dan yang lebih penting, respons koalisinya. Jika penolakannya kuat, ia tidak akan melanjutkan rencana itu,” ungkap pendiri lembaga survei KedaiKopi ini.
DPR dijadwalkan mulai membahas revisi aturan pemilu pada tahun depan, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada Juni 2025 memutuskan pemilu legislatif nasional dan daerah digelar terpisah mulai 2029.
Sumber: cna.id
