Perizinan berusaha yang terkait dengan penggunaan kawasan cukup luas sebelum terbitnya UU Cipta Kerja dilakukan seleksi sangat ketat. Bupati membentuk tim untuk melakukan kajian teknis layak tidaknya permohonan izin.
Bila layak, dilanjutkan ke Gubernur, kemudian Gubernur membentuk tim untuk melakukan kajian teknis. Bila layak, baru dilanjutkan ke Menteri untuk memberikan izin, baik tambang maupun perkebunan, kecuali izin HPH yang langsung kewenangan Pusat cq Menhut.
Mekanisme pemberian izin yang sangat ketat dari Kabupaten, Provinsi, dan Pusat merupakan bentuk tanggung jawab bersama dan harus ada kajian AMDAL sebagai syarat utama sebelum izin diberikan. Namun kemudian proses perizinan yang sangat ketat ini diartikan mempersulit dan dianggap berbelit-belit.
Berdasarkan anggapan pengurusan izin yang dipersulit, maka muncullah UU Cipta Kerja. Semua perizinan direformasi dan diberikan kemudahan dengan memangkas aturan sebelumnya hingga Bupati dan Gubernur tidak ada waktu untuk seleksi lokasi calon izin, layak tidaknya lokasi yang dimohon memenuhi syarat atau tidak.
Bila lambat, ditarik ke Pusat dan langsung terbit izin. Memang sangat dipermudah, namun bila muncul masalah di lapangan, Kepala Daerah yang menanggung risiko.
Selain memangkas birokrasi, AMDAL yang awalnya menjadi syarat utama dan harus ada sebelum izin diberikan, kini hanya cukup membuat surat pernyataan sanggup melakukan kajian AMDAL saja, izin langsung terbit.
Satu sisi perizinan memang cepat, akan tetapi mengandung risiko yang sangat besar. Banyak izin yang keluar terjadi tumpang tindih dengan masyarakat maupun perizinan lain. Pengawasan AMDAL menjadi longgar, akhirnya sangat berisiko terhadap terjadinya bencana seperti saat ini akibat perizinan yang dipermudah.
Belum lagi pembalakan, pertambangan, serta perkebunan ilegal yang tentu tanpa syarat dan kontrol. Akibatnya mempunyai daya rusak yang luar biasa dan memperparah terjadinya bencana yang mematikan.
Semua ini terjadi akibat UU Cipta Kerja dan daerah tak lagi mampu mengontrol perizinan dari Pusat, sehingga daerah yang semula sebagai alat kontrol di wilayahnya telah hilang. Di lain pihak, pengawasan kawasan hutan sangat lemah bahkan abai, karena semua itu dilakukan di dalam kawasan hutan. Apa kerja Kemenhut, karena sesuai UU Otda urusan kehutanan menjadi urusan Pusat cq Kemenhut.
Solusi cepat perlu segera dilakukan sebelum makin parah dengan mengevaluasi tata kelola pertambangan, perkebunan, pertanian, serta menghentikan pembalakan liar melalui SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Kehutanan, Pertanian, Pertambangan, dan Lingkungan Hidup.
Penulis: Anggota Komisi IV DPR Fraksi Partai Demokrat Bambang Purwanto
