Jakarta, JURNALBABEL -Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) menyatakan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait putusannya menolak permohon dari sejumlah lembaga survei dan beberapa stasiun TV terkait menyebarkan quick count atau hitung cepat.
“Kami hormati keputusan hakim, walau kami tidak setuju,” kata Pendiri AROPI Denny JA di kantor MK, Jl Medan Merdeka Utara, Selasa (16/4/2019).
Founder LSI Denny JA kemudian menjelaskan alasan tidak setuju terhadap keputusan itu. Menurunya, keberadaan lembaga survei dan hasil quick count telah memiliki tradisi yang panjang dalam penyelanggaran pemilu.
Terlebih lagi, pada tahun 2009 dan 2014, MK juga membatalkan UU yang melarang quick count sejak pagi.
“Sebelumnya juga Mahkamah Konstitusi di tahun 2009 dan 2014 pernah membatalkan hal yang sama. Tapi sekarang hal yang sama disahkan. Pertama alasan yurisprudensi,” ujarnya.
Ia menilai dengan keputusan itu terlihat ada pembatasan dalam kebebasan akademik. Untuk itu, menurutnya, hakim MK saat ini lebih konservatif dan tidak memperhatikan keputusan-keputusan sebelumnya.
“Para hakim sekarang ini di MK lebih konservatif melihat kepada kebebasan akademik, karena tim hakim sebelumnya pada tahun 2009 dan 2014 mereka lebih terbuka kepada kebebasan akademik sehingga berbeda hakim, beda putusan walau dalam hal yang kurang lebih sama,” ungkap Denny JA.
Denny mengatakan sebagai lembaga survei akan terus memperjuangkan kebebasan akademik. Meski demikian, ia juga sadar semua keputusan tergantung kepada hakim.
“Bagi kami perjuangan kebebasan akademik adalah perjuang yang subtansial yang kapan pun kami perjuangkan, menang kalah dalam keputusan hakim itu adalah perjuang dan tergantung siapa hakim yang sedang menjabat,” sebutnya.
Sebelumnya diberitakan, MK melarang untuk menyebarkan quick count sebelum pukul 15.00 WIB. Bagi yang melanggar, akan dipidana 18 bulan penjara.
“Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Menolak permohonan provisi pemohon 1-6 untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di gedung MK, Selasa (16/4/2019).
Alhasil, pasal yang dimaksud tetap dan tidak berubah. Yaitu:
Pasal 449 ayat 5:
Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat.
Bagi yang melanggar Pasal 449 ayat 5, diancam hukuman 18 bulan penjara. Hal itu sesuai dengan bunyi Pasal 540 ayat 2:
Pelaksanaan kegiatan perhitungan cepat yang mengumumkan prakiraan hasil perhitungan cepat sebelum 2 jam setelah selesainya pemungutan suara di rilayah Indonesia bagian barat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 449 ayat 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp 18.000.000 (delapan belas juta rupiah). (Joy)
Editor: Bobby