Jakarta, JurnalBabel.com – Rencana Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) yang diajukan Badan Legislasi (Baleg) DPR menimbulkan pertanyaan publik.
Belum lama ini, Baleg DPR mengusulkan perubahan aturan syarat usia, batas pensiun hakim konstitusi, dan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK.
Dalam Pasal 4 draf RUU MK mengatur tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK selama lima tahun yang mengubah pasal serupa dalam UU No. 8 Tahun 2011 yang menyebutkan masa jabatan ketua dan wakil ketua adalah 2 tahun 6 bulan. Dalam RUU MK itu, syarat usia minimal calon hakim konstitusi diubah dari 47 tahun menjadi 60 tahun tanpa batas usia maksimal.
Selain itu, Pasal 87 huruf c RUU MK menghapus Pasal 22 UU No. 24 Tahun 2003 terkait periodeisasi masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Dalam pasal itu, intinya usia pensiun hakim konstitusi hingga usia 70 tahun disamakan usia pensiun hakim agung.
Menanggapi hal itu, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie menyatakan DPR memiliki tiga tugas pokok dan fungsi, yakni pengawasan, anggaran dan legislasi. Dalam hal legislasi itu tentu membuat kebijakan baru.
“Nah, apakah tepat sekarang membuat kebijakan baru? apa perlu? tidak ada yang mendesak. Covid-19 ini yang mendesak,” kata Prof Jimly saat dihubungi, Rabu (15/4/2020).
Lebih lanjut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini menyebut semua RUU yang sudah masuk dalam Prolegnas prioritas 2020 penting. Seperti RKUHP karena sejak 1963 tidak selesai-selesai dibahas. Dari sisi pengusaha, RUU Cipta Kerja juga sangat penting.
“Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kepentingan keselamatan masyarakat. Maka semua UU jangan dibahas, fokus DPR dua fungsi saja pengawasan dan anggaran,” jelasnya.
“Bukan hanya RUU MK, semuanya dihentikan. Apalagi RUU MK ini belum masuk di Baleg Prolegnas prioritas 2020,” tambahnya.
Mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP ini menjelaskan bahwa membuat UU itu bukan pekerjaan teknis, tapi pekerjaan politik. Jadi karena pekerjaan politik hanya mewakili rakyat yang berdaulat yang sedang sibuk urusi keselamatan. Tidak ada yang memberi perhatian pada UU.
“Jadi kalau Anda manfaatkan momentum untuk membuat UU, demokrasi bukan soal pengambilan keputusan. Demokrasi itu aspirasi rakyat berdaulat tersalur,” katanya.
Senator DKI Jakarta sepakat dengan substansi RUU MK karena sesuai dengan harapannya yang sudah ia tulisnya dalam beberapa bukunya. Namun ia lebih sepakat DPR lebih memprioritaskan penanganan Covid 19 karena keselamatan masyarakat harus diutamakan. Sehingga semua alat kelengkapan negara sebisa mungkin karena kondisinya sudah darurat, maka keselamatan rakyat menjadi hukum tertinggi.
“Maka sebaiknya semua komponen bangsa, pejabat semua bidang fokus menyelamatkan bangsa ini,” pungkasnya. (Bie)
Editor: Bobby