Jakarta, JurnalBabel.com – Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) di DPR, Sukamta, menyampaikan bahwa rencana relaksasi PSBB sebagaimana disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD pada Sabtu 3 Mei 2020, semakin menguatkan dugaan pemerintah hingga saat ini tidak punya grand desain penanangan Covid-19.
“Dalihnya hasil evaluasi, masyarakat dikatakan stres karena dibatasi, kalau stres imunitas menurun bisa jadi sakit. Ini kayaknya yang stres malah pemerintah karena nggak jelas konsepnya, nggak jelas ukuran evaluasinya. Sampai sekarang pemerintah juga belum pernah ungkapkan grand desain penangangan Covid-19 termasuk target waktu untuk mengatasinya. Jadi makin kelihatan bahwa kebijakan PSBB ini seakan lempar tanggung jawab pemeritah pusat ke daerah. Coba lihat saat ini gubernur, bupati, walikota yang malah terlihat pontang panting dengan kebijakan PSBB. Mereka para kepala daerah sedang berusaha mengetatkan pelaksanaan PSBB karena masih cukup banyak pelanggaran aturan dan penyebaran virus masih terus terjadi, eh kok pemerintah pusat yang buat peraturan PSBB malah akan melonggarkan. Kalau kebijakan bolak-balik nggak jelas seperti ini, kasihan yang di daerah pak Presiden,” kata Sukamta dalam keterangan tertulisnya, Senin (4/5/2020).
Lebih lanjut anggota komisi I DPR ini menilai wacana relaksasi PSBB yang disampaikan pemerintah melalui Menko Polhukam tersebut semakin menunjukkan buruknya cara komunikasi pemerintah kepada publik.
“Kelihatan buruk sekali cara komunikasinya, semestinya jika masih wacana tidak perlu disampaikan ke publik. Dalam kondisi yang baru prihatin seperti ini jangan membuat suasana semakin runyam dengan pernyataan yang masih tidak jelas arahnya. Apalagi pernyataannya Mahfud MD ini bertolak belakang dengan hasil evaluasi sepekan sebelumnya yang disampaikan oleh Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo yang menyatakan PSBB masih belum maksimal di sejumlah daerah karena masyarakat masih tak menerapkan protokol kesehatan dengan baik. Kritik cara komunikasi pemerintah yang buruk ini sudah banyak disampaikan, sekarang udah jalan 2 bulan lebih ternyata tidak kunjung diperbaiki. Jadi kalau masyarakat dikatakan stres, bisa jadi bukan karena dibatasi ruang geraknya tetapi karena bingung lihat pernyataan-pernyataan pemerintah yang simpang siur. Oleh sebab itu pemerintah mestinya mengatur siapa yang boleh bicara soal kebijakan penanganan Covid-19, PSBB, dll. Jangan sampai para pejabat pemerintah rebutan panggung tetapi malah bingungkan rakyat dan buat gaduh,” ujarnya.
Selanjutnya anggota DPR RI asal Yogyakarta ini meminta kepada pemerintah untuk segera memperjelas grand desain penanganan Covid-19, juga menetapkan kriteria atau standar yang jelas soal kapan PSBB bisa mulai dilonggarkan secara bertahap. Pemerintah juga perlu waspadai gelombang kedua pandemi ini yang bisa saja muncul kembali. Sehingga dengan kondisi seperti menurut Sukamta ini mestinya jangan buru-buru berpikir untuk melonggarkan, tetapi membuat tahapan dan kriteria yang jelas.
Sukamta mencontohkan di beberapa negara yang sukses tangani Covid-19 seperti Selandia Baru, ada level tindakan dari lockdown (level teratas), pembatasan (level 3), pengurangan (level 2) dan siaga (level 1). Di Singapura yang juga dianggap sukses tangani Covid-19 punya level perubahan status tanggap atau disebut Dorscon, mulai dari status yang paling ringan, yakni terdiri dari hijau, kuning, oranye, dan merah.
“Dengan perjalanan selama lebih dari 2 bulan sudah cukup waktu untuk rumuskan strategi atasi Covid-19 secara komprehensif. Pemerintah juga bisa melakukan benchmark negara-negara yang sukses tangani Covid-19 untuk kemudian diambil metode-metode yang diangap jitu untuk tangani virus ini. Mestinya saat ini sudah tidak terdengar lagi kekurangan APD di rumah sakit, kekurangan reagen untuk tes swab, juga soal masih kurangnya jumlah kamar isolasi untuk pasien positif dan serta berbagai kebutuhan mendasar untuk atasi Covid-19. Kalau hal-hal mendasar ini saja tidak bisa dipenuhi maka angka-angka yang diumumkan tiap hari tidak bisa mencerminkan hasil dari penanganan yang optimal. Ini akan membuat upaya penanganan Covid-19 makin panjang dan tidak jelas waktunya, tentu efek sosial ekonominya akan makin berat,” pungkasnya. (Bie)
Editor: Bobby