Jakarta, JurnalBabel.com – Tagar #IndonesiaTerserah menjadi trending di lini masa Twitter belakangan ini. Khalayak ramai memperbincangkan beberapa pro kontra kebijakan pemerintah terhadap penanggulangan pandemi Covid-19, seperti pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Tak sedikit yang menganggapnya hanya sindiran semata terhadap eksekutor kebijakan negara dalam menangani Covid-19. Tetapi hal ini diungkapkan berbeda oleh anggota komisi IX DPR, Netty Prasetiyani.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini justru memandang ada gejala psikologis masyarakat yang terbendung selama ini hingga menyeruak ke publik. Netty menyebut fenomena itu menunjukkan adanya kekecewaan publik terhadap penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
“Dulu waktu PSBB, aturannya, layanan bandara Soekarno Hatta ditutup, bus keluar-masuk Jakarta tidak boleh, dan orang bekerja di luar dibatasi. Tapi sekarang justru oleh pemerintah dibolehkan meski ada persyaratan. Jadi masyarakat bingung, yang benar yang mana, karena plin-plannya pemerintah soal aturan PSBB,” kata Netty dalam keterangan tertulisnya, Selasa (21/5/2020).
Sebelumnya, dampak pelonggaran PSBB ini menjadi hangat diperbincangkan karena kebijakan itu berimbas pada perilaku masyarakat di kawasan ibukota. Banyak masyarakat yang berkerumun di berbagai tempat seperti di mall, MCD Sarinah, terminal, bandara Soekarno Hatta dan tempat publik lainnya.
Hal ini dinilai karena kebijakan pemerintah yang membolehkan masyarakat melakukan perjalanan keluar kota dengan beberapa syarat. Namun menurut Netty, syarat-syarat itu mudah dimanipulasi.
“Syarat-syarat seperti surat untuk melakukan pekerjaan dan menjenguk keluarga yang sakit keras itu mudah dimanipulasi, ini terbukti dengan mengularnya antrean penumpang di bandara Soekarno Hatta. Lihat aja, orang-orang bisa bersamaan waktu begitu kalau memang untuk keperluan kerja?” ujarnya.
Ibarat anak yang mengikuti induknya. Tingkah pemerintah pusat yang mulai berdamai dengan korona dengan cara melonggarkan pembatasan sosial itu pun pelan-pelan mulai di ikuti pemerintah daerah. Sebut saja Kota Bekasi, yang kini mulai merancang wilayah zona hijau dimana mesjid dibolehkan menyelenggarakan salat Ied. Kebijakan ini tentu tidak mampu melarang masyarakat dari zona merah untuk berbondong-bondong mendatangi mesjid di zona hijau.
“Masyarakat memang sudah rindu dengan mesjid. Nah, dengan banyaknya warga yang berkerumun, dan pergi ke keluar kota, kita sekarang justru mundur sepuluh langkah ke belakang, alih-alih maju kedepan untuk menangani Covid-19,” keluh Netty.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah menemukan cara untuk menyelesaikan masalah ini mengingat kasus Covid-19 di Indonesia masih tinggi.
“Saya berharap pemerintah punya solusi, karena sudah berapa ribu orang yang lolos mudik akibat aturan yang plin-plan itu. Jika ini tidak segera diatasi maka tidak menutup kemungkinan ada gelombang-gelombang serangan Covid-19 lainnya yang akan kita hadapi” kata legislator dari dapil Jawa Barat VIII ini.
Membuncahnya tagar ‘Indonesia Terserah’ ini menjadi sebuah kekhawatiran. Persepsi publik soal penanganan wabah korona di Indonesia akan mereduksi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya.
Di ujung cerita yang akan menjadi sejarah ini, masyarakat dimungkinkan tak lagi menaruh simpati terhadap pengorbanan pemerintah yang kerap mengaduk-aduk pikiran dan perasaan warganya hingga berdampak pada psikologi mereka. Apalagi kalau persepsi yang sama turut mempengaruhi kalangan medis, apa yang akan terjadi?
“Saya makin prihatin jika tagar Indonesia Terserah ini juga menjadi sikap para tenaga kesehatan. Jika mereka tidak lagi mau menangani pasien akibat kecewa karena anjuran diam di rumah tidak mendapat dukungan kebijakan yang kuat, apa yang akan terjadi? Mereka sudah berjibaku berada di garis depan dengan mengorbankan diri mereka, tapi pemerintah plin plan, akhirnya masyarakat pun bersikap tidak peduli. Tentu wajar kalau mereka juga menyerah,” tutup Netty.