Jakarta, JurnalBabel.com – Dua stasiun televisi RCTI dan iNews menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya meminta setiap siaran yang menggunakan internet, seperti YouTube hingga Netflix, tunduk pada UU Penyiaran. Bila tidak, RCTI-iNews khawatir muncul konten yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Hal itu terungkap dalam permohonan judicial review yang dilansir website MK, Kamis (28/5/2020). Permohonan itu ditandatangani oleh Dirut iNews TV David Fernando Audy dan Direktur RCTI Jarod Suwahjo.
Mereka mengajukan judicial review Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran yang berbunyi “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi I DPR Sukamta menyatakan pihaknya sudah khawatir sejak dulu bahwa siaran-siaran di internet akan semakin menjamur tanpa dapat dijamah oleh aturan penyiaran dan bisa-bisa siaran televisi analog terancam semakin ditinggalkan pemirsa.
“Ini bahaya untuk masa depan dunia penyiaran. UU Penyiaran yang existing belum mencakup hal ini. Solusinya ya percepat Revisi UU Penyiaran, bukan gugatan ke MK,” kata Sukamta saat dihubungi, Jumat (29/5/2020).
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) di DPR ini menjelaskan bahwa Komisi I periode 2014-2019 lalu sudah mempercepat dan menyelesaikan pembahasan draft Revisi UU Penyiaran selama 2 tahun. Spirit utama dari revisi tersebut adalah pengaturan penyiaran digital lewat media internet.
“Saya sangat mendukung kemajuan teknologi digital ini, termasuk di dunia penyiaran. Makanya saya sangat mendorong revisi UU penyiaran selesai dengan cepat saat itu supaya siaran-siaran di internet bisa tunduk kepada UU Penyiaran,” tuturnya.
Tapi faktanya, lanjut Sukamta, revisi UU Penyiaran waktu itu macet saat pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Kalangan televisi swasta masih cukup kekeuh mempertahankan model penyiaran menggunakan multimux, sementara Komisi I sudah bulat untuk memilih single mux.
“Imbasnya ya akan semakin liarnya siaran-siaran di internet, seperti yang dikhawatirkan oleh teman-teman kita dari RCTI dan I-news sekarang ini,” ujarnya.
Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran ini menjelaskan pengaturan penyiaran digital tidak bisa dilakukan secara parsial hanya dengan mengubah 1 atau beberapa pasal saja lewat Putusan MK supaya UU Penyiaran mencakup penyiaran internet, karena pengaturannya harus mengubah banyak pasal.
Misalnya, bagaimana soal migrasinya, bagaimana soal penyiarannya single atau multi mux, siapa yang menyelenggarakannya, bagaimana dengan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Malah bisa bahaya jika aturan soal penyiaran digital ini hanya diatur secara parsial begitu. Karena itu sekali lagi solusinya ya Revisi UU Penyiaran untuk mengaturnya secara komprehensif,” tegasnya.
Meski demikian, kata Sukamta, apapun hasil putusan MK nantinya, yang penting dunia penyiaran betul-betul dapat mewujudkan tujuan penyiaran membangun bangsa Indonesia yang beradab.
“Kan bagaimana wajah generasi penerus bangsa dan peradaban Indonesia masa depan bisa kita lihat dari siaran apa yang laku ditonton generasi muda saat ini. The best way to predict the future is to create it. Karenanya kita harus create konten penyiaran berkualitas dan beradab sejak dini,” tutup wakil rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini. (Bie)
Editor: Bobby