Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR Wihadi Wiyanto menyayangkan jaksa penuntut umum (JPU) perkara penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan hanya menuntut 1 tahun pidana kepada dua terdakwa kasus tersebut, yakni Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette.
Tuntutan tersebut dibacakan oleh JPU Robertino Fedrik Adhar Syaripuddin dihadapan ketiga hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, yakni Djuytamo selaku Hakim Ketua, Agus Darwanta dan Taufan Mandala sebagai hakim anggota pada Kamis (11/6/2020. JPU menyatakan kedua terdakwa bersalah dalam kasus tersebut. Salah satu alasan JPU menuntut ringan karena terdakwa tak sengaja menyiram Novel Baswedan dengan air keras.
“Dengan alasan adanya di pengadilan dan sebagainya serta dengan adanya tuntutan 1 tahun, itu sebenarnya tuntutannya terlalu rendah lah. Itu baru tuntutan, belum lagi nanti keputusannya. Berarti nanti kan keputusannya bisa dibawah itu, kalau itu memang terbukti bahwa kedua orang itu yang menyiram,” kata Wihadi saat dihubungi, Minggu (14/6/2020).
Namun politisi Partai Gerindra ini enggan menyoroti masalah tuntutan tersebut lebih dalam. Ia justru mempertanyakan sekaligus meragukan apakah benar kedua terdakwa yang merupakan anggota polisi aktif itu benar-benar pelaku penyerang Novel Baswedan. Sehingga JPU hanya menuntut 1 tahun penjara terhadap kedua terdakwa.
“Kejanggalannya itu kan terjadinya karena itu, bukan masalah tuntutannya. Benar tidak ini pelakunya? Sehingga terjadi negosiasi penuntutannya itu hanya dengan 1 tahun,” ujarnya.
Wihadi juga tidak akan mengintervensi kasus ini. Misalnya, Komisi III DPR memanggil pihak-pihak terkait untuk mempertanyakan kejanggalan kasus ini. Ia menyerahkan berbagai kejanggalan itu ke pihak hakim di Pengadilan. Sebab, katanya, pengadilan yang lebih paham atas kasus itu.
“Itu sistim pengadilan, fakta pengadilan, biarkan berjalan saja,” tutur anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR ini.
Legislator dari daerah pemilihan Jawa Timur ini hanya meminta hakim harus mempertanyakan kepada pihak kepolisian bahwa apakah olah tempat kejadian perkara (TKP) sudah benar-benar atau belum dilakukan. Sebab, tegasnya, muncul keraguan kedua terdakwa benar-benar pelaku penyerangan Novel Basweran.
“Saya hanya diluar, tetapi katanya karena air kerasnya enggak sengaja, jadi kan apakah benar ini pelakunya? Apakah sudah dilakukan olah TKP kemarin itu? Hakim harus pertanyakan juga oleh TKP nya sudah benar apa belum,” tegasnya.
Kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan terjadi pada 11 April 2017, setelah melaksanakan Sholat Subuh di Masjid Al Ikhsan, Kepala Gading, Jakarta Utara. Akibat peristiwa itu, kedua mata Novel mengalami luka bakar dan membuatnya harus dilarikan ke Singapura untuk menjalani perawatan di Singapore General Hospital guna memulihkan kondisinya. Namun, hasil operasi menyebutkan bahwa kondisi mata kiri Novel tidak dapat melihat sama sekali. Sementara, mata kanan Novel terlihat masih ada kabut.
Sebelum kedua pelaku ditangkap pada 26 Desember 2019 di sebuah kawasan di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, banyak proses yang dilalui. Mulai dari Komnas HAM membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), Polda Metro Jaya meminta bantuan Kepolisian Australia, Polri merilis sketsa wajah pelaku sampai Polri membentukan tim gabungan. Sementara sidang perdana kasus penyerangan Novel Baswedan dilangsungkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 19 Maret 2020. (Bie)
Editor: Bobby