Jakarta, JurnalBabel.com – Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha), Azmi Syahputra, menyatakan, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta semestinya menjatuhi hukuman lebih tinggi terhadap Jaksa Pinangki Sirna Malasari atas kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang. Bukan justru di diskon dari 10 tahun menjadi empat tahun penjara.
Pasalnya, Jaksa Pinangki adalah penegak hukum serta fakta kejahatan yang terungkap di persidangan bahwa ia peran utama yang jadi tim leader terkait kasus pengurusan kasus Djoko Tjandra.
Menurut Azmi, perannya tersebut sangat bertentangan dengan kapasitasnya sebagai seorang penegak hukum. Ditambah lagi secara sosiologis saat ini negara sedang gencar-gencarnya berperang dalam pemberatasan tindak pidana korupsi.
“Seharusnya Majelis hakim Pengadilan Tinggi menyadari bila penegak hukum yang melakukan tindak pidana korupsi harus dijatuhi hukuman lebih tinggi. Misal bisa menerapkan dua kali lipat bahkan 3 kali lipat dari tuntutan JPU,” kata Azmi Syahputra dalam keterangan tertulisnya, Rabu (16/6/2021).
Melihat putusan Pengadilan Tinggi DKI Nomor 10/Pid.Sus-TPK/2021/PT DKI, yang berjumlah 174 halaman atas kasus Jaksa Pinangki, kata Azmi, yang menarik untuk dikaji adalah pertimbangan hukum hakim yang terkecoh masuk ke ranah yang tidak tepat.
“Majelis hakim kurang peka, keliru menempatkan keyakinannya, tidak mempertimbangkan dengan cermat dan terkesan lalai melihat karakteristik dalam kasus ini dengan segala dampaknya. Karena ke khasan dalam kasus ini dilakukan oleh oknum yang berjejaring dengan oknum penegak hukumnya menjual hukum seperti di pasar,” jelasnya.
Azmi juga menilai diskon hukuman Jaksa Pinangki ini membuat masyarakat semakin tidak percaya pada penegak hukum.
“Anehnya kok majelis hakim PT DKI dalam kasus ini malah memberi diskon dengan alasan berdasarkan tuntutan Jaksa yang sudah mewakili negara dan dianggap mencerminkan keadilan. Ini kekeliruan vonis. Alasan yang dicari-cari dan terkesan ala kadarnya. Ini namanya majelis hakim rasa jaksa,” kecamnya.
Sebab itu, dosen hukum pidana Universitas Trisakti Jakarta ini menyarankan majelis hakim layak untuk diperiksa badan pengawas Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial, dan mendorong Jaksa untuk melakukan Kasasi demi memenuhi rasa keadilan hukum.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman jaksa Pinangki Sirna Malasati atas kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang dari 10 tahun menjadi empat tahun penjara.
Adapun pemotongan hukuman tersebut diputuskan majelis hakim dengan mempertimbangkan beberapa hal. Salah satunya, karena Pinangki dianggap sudah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya.
“Bahwa terdakwa mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesi sebagai jaksa. Oleh karena itu ia masih dapat diharapkan akan berperilaku sebagai warga masyarakat yang baik,” demikian disebutkan dalam laman putusan Mahkamah Agung (MA), Selasa (15/6/2021).
Hakim juga mempertimbangkan Pinangki adalah seorang ibu dari anak berusia empat tahun sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.
Pertimbangan lainnya yakni Pinangki sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
“Bahwa perbuatan Terdakwa tidak terlepas dari keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahannya memengaruhi putusan ini,” demikian yang tertulis dalam laman putusan MA.
“Bahwa tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum selaku pemegang asas Dominus Litus yang mewakili negara dan pemerintah dianggap telah mencerminkan rasa keadilan masyarakat,” lanjut tulisan tersebut.
Adapun putusan itu diambil oleh ketua majelis hakim Muhammad Yusuf dengan hakim anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Renny Halida Ilham Malik pada tanggal 14 Juni 2021.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menyatakan Pinangki terbukti bersalah melakukan tiga tindak pidana sekaligus dan memvonisnya 10 tahun penjara.
Pertama, Pinangki menerima uang suap 500.000 dollar Amerika Serikat dari Djoko Tjandra. Kedua, Pinangki terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang dengan total 375.229 dollar AS atau setara Rp 5,25 miliar.
Pinangki juga dinyatakan terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya, dan Anita Kolopaking untuk menjanjikan uang 10 juta dollar AS kepada pejabat Kejagung dan MA demi mendapatkan fatwa.
Vonis tersebut lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang meminta agar Pinangki divonis empat tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan.
Peran Pinangki sebagai makelar kasus pun terungkap ketika hakim membeberkan bukti percakapan Pinangki dengan mantan kuasa hukum Djoko Tjandra, Anita Kolopaking.
Percakapan antara Pinangki dengan Anita di aplikasi WhatsApp pada 26 November 2019 itu terkait kepengurusan grasi mantan Gubernur Riau Annas Maamun.
Annas merupakan terpidana kasus korupsi terkait alih fungsi lahan di Provinsi Riau yang pernah mendapat grasi dari Presiden Joko Widodo pada September 2019.
Grasi itu membuat masa hukuman Annas berkurang satu tahun. Ia kini telah bebas sejak 21 September 2020.
Menurut hakim, percakapan itu menjadi bukti bahwa Pinangki sudah terbiasa mengurus perkara.
“Selain terkait dengan kasus Joko Soegiarto Tjandra, terdakwa sudah biasa mengurus perkara dengan bekerja sama dengan saksi Dr Anita Dewi Kolopaking, khususnya terkait dengan institusi Kejaksaan Agung dan MA,” ungkap Ketua Majelis Hakim Ignatius Eko Purwanto.
(Bie)