Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR, Mohamad Rano Alfath, meminta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) jangan berlindung dari kesalahan terkait maraknya mafia tanah di Indonesia.
Berlindung yang dimaksud Rano yakni, ketika terjadi sengketa tanah/lahan dalam kepemilikannya akibat adanya mafia tanah didalamnya, BPN tinggal membatalkan.
Menurut Rano, BPN seharusnya berfikir dampak kedepannya akibat kesalahan yang diperbuatnya.
Hal tersebut dikatakan Rano Alfath dalam rapat dengar pendapat umum Komisi III DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/8/2024), dengan korban mafia tanah dugaan penyerobotan lahan tanah Mantan Menteri Keuangan era Presiden Soeharto, Fuad Bawazier, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
“Ini pasti menjadi perhatian BPN, karena jangan selalu BPN ini berlindung bahwa kalau ada kesalahan tinggal membatalkan. Harus berfikir dampak kedepannya seperti apa,” kata Rano Alfath.
Lebih lanjut legislator asal dapil Banten ini mengusulkan pengaduan Fuad Bawazier ke Komisi III DPR atas kasus tersebut langsung difasilitasi. Ia lebih sepakat Komisi III DPR menelaah lebih dalam dan jelas dulu duduk perkara tersebutm
“Biasanya dalam eksekusi itu ada permohonan dari pihak Pengadilan ke Kepolisian. Nanti kita bantu buat surat agar bijak untuk melihat, tidak langsung juga sertamerta memfasilitasi agar kita lihat duduk perkaranya dengan jelas dulu,” ujarnya.
“Karena kadang kala bukan hanya ibu, dibawah lebih parah lagi yang lagi tidur enak rumahnya sudah diatas namakan orang. Di dapil saya (Kabupaten Tangerang), banyak orangnya sudah pindah-pindah atas namanya,” sambungnya.
Politisi PKB ini pun mengharapkan Komisi III DPR membuat kesimpulan RDPU pengaduan kasus ini dengan meminta pihak terkait tidak langsung mengeksekusi pengosongan lahan/rumah Fuad Bawazier tersebut.
“Saya harapkan nanti pimpinan membuat kesimpulan minta dari pihak Kepolisian untuk melihat dulu dengan benar duduk perkaranya,” pungkasnya.
Dalam kesimpulan rapat, Komisi III DPR menilai putusan nomor 495/PDTG/2014/PN-JKT-PST merupakan putusan yang tidak dapat dieksekusi (non-executable) karena terdapat pertentangan dengan tidak ditetapkannya penggugat sebagai pemilik tanah.
“Sedangkan tergugat memiliki atas hak yang sah berupa sertifikat hak milik sehingga penetapan eksekusi nomor 90/201.X tanggal 18 April 2022 bertentangan dengan hukum,” ujar Anggota Komisi III DPR RI Eva Yuliana saat diberikan mandat membacakan hasil kesimpulan rapat.
Lebih lanjut, tutur Eva, Komisi III DPR RI meminta Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Provinsi DKI Jakarta untuk tidak mengeluarkan alas hak atau sertifikat kepemilikan baru karena proses ini masih dalam sengketa.
Tak hanya itu, Komisi III DPR meminta badan peradilan atau Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) untuk tidak melakukan eksekusi pengosongan karena putusan bermasalah dan juga meminta Polri untuk tidak mendukung pengamanan rencana eksekusi pengosongan oleh PN Jakpus.
Sebelumnya, Fuad Bawazier, mengadu ke Komisi III DPR RI karena rumahnya yang berlokasi di kawasan Menteng, Jakarta, terkena permasalahan sengketa tanah.
Fuad menjelaskan tanah tersebut telah dibeli oleh dirinya dan sudah memiliki sertifikat. Namun, pada tahun 2014 tanah tersebut digugat oleh pihak lain yang sebelumnya sudah pernah berperkara atas kepemilikan tanah itu, tetapi gugatannya pun sudah ditolak.
“Keputusan yang dulu itu sudah pernah diputusin, yaitu orang itu memang sudah tidak dinyatakan, ditolak permohonan pembeliannya,” ujar Fuad saat menghadiri rapat dengar pendapat umum di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (8/8/2024).
Politikus yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama MIND.ID itu hadir dalam rapat didampingi kuasa hukumnya. Selain itu, Komisi III DPR juga menghadirkan pihak dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi DKI Jakarta dalam rapat tersebut.
Fuad mengaku heran atas adanya hal tersebut karena di kawasan rumahnya itu hanya dirinya yang digugat. Dia menduga gugatan itu justru dilakukan ketika rumahnya telah direnovasi lebih bagus dari sebelumnya.
“Mungkin setelah rumahnya dibangun bagus, baru diperkarakan oleh mafia tanah ini, bukan dulu-dulu yang perkara. Menurut saya ini sudah waktunya barang kali, waktunya reformasi hukum dilakukan,” katanya.
Sementara itu Kuasa Hukum Fuad Bawazier, Sri Melyani, mengatakan bahwa gugatan pada tahun 2014 memunculkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bahwa sertifikat tanah atas nama Nuraini Bawazier tidak mengikat dan diperintahkan mengosongkan objek rumah itu.
Sampai kemudian pada 7 Agustus 2024, pengadilan sempat hendak melakukan eksekusi pengosongan rumah Fuad Bawazier itu. Namun, eksekusi itu dibatalkan setelah pihaknya melakukan perlawanan.
“Baru kali ini saya mendapatkan satu kasus yang aneh bin ajaib, orang tidak punya hak, tidak punya legal standing, tetapi dinyatakan berhak atas objek,” kata Sri.
Dengan adanya hal tersebut, Komisi III DPR RI merekomendasikan agar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu dibatalkan dan tidak bisa dilakukan eksekusi atas tanah karena terdapat pertentangan bahwa penggugat tidak memiliki hak atas tanah.
Komisi III DPR RI meminta BPN DKI Jakarta tidak menerbitkan surat atau alas hak baru atas objek tersebut.
Selain itu, Komisi III DPR juga meminta kepolisian tidak mendukung pengamanan rencana eksekusi pengosongan lahan tersebut. (Bie)