Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI harus segera melakukan tugas dan wewenangnya untuk menonaktifkan sementara waktu Wakil Ketua DPR, Azis Syamsuddin, yang diduga melanggar etika, atas sikap perilaku dan tindakannya yang memfasilitasi pertemuan Walikota Tanjung Balai dan Penyidik KPK pada Oktober 2020 lalu di rumah dinasnta. Setidaknya disini sudah ada sikap mengurangi independensi insan KPK, ada konflik kepentingan, menggunakan jabatan untuk pengurusan penghentian perkara di KPK.
Padahal mengacu peraturan dewan pengawas Nomor 01 Tahun 2020 tentang kode etik dan Pedoman perilaku KPK, pada bab integritas disebutkan jelas perbuatan oknum penyidik KPK melanggar, karena dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan orang yang perkaranya sedang ditangani KPK.
Termasuk kebijakan baru KPK di era kepemimpinan Firli Bahuri bahwa tersangka suatu kasus tidak akan diumumkan dulu ke publik sebelum ditangkap atau ditahan. Ini malah yang terjadi para pihak belum ada tindakan konkrit KPK, malah sudah saling dipertemukan olehnya dan diketahui akhirnya membuat kesepakatan suap dan skemanya untuk menyelesaikan masalah yang sedang diperiksa KPK.
Mahkamah Kehormatan harus responsif, objektif dalam melihat kasus ini dan tidak boleh pula malah anggota Mahkamah Kehormatan ikut turut mengalami konflik kepentingan. Bila ini terjadi maka Mahkamah Kehormatan tidak dapat optimal dan efektif dalam melaksakan tugasnya. Artinya abai, apalagi fakta atas permasalahan ini sudah disampaikan langsung melalui keterangan pers Ketua KPK bahwa ada keterlibatan personal pimpinan DPR RI, sehingga masalah ini sudah tersiar di media. Jadi anggota Mahkamah Kehormatan harus segera bertindak dan memproses permasalahan ini agar diketahui letak permasalahan dan menemukan fakta, bukti dan bisa mengambil keputusan.
Penegakan kode etik dari MKD tersebut guna bagian fungsi pengawasan termasuk penindakan serta mengendalikan kualitas perilaku pejabat penyelenggara negara guna membangun kesadaran sikap integritas di lingkungan kerja. Dalam hal ini di lembaga DPR dan termasuk lingkungan pergaulan hidup masyarakat dan Azis Syamsudin harus menyadari bahwa seluruh sikap dan tindakannya selalu melekat dalam kapasitasnya sebagai pimpinan DPR RI.
Meskipun demikian penindakan dengan sanksi etika tidak menghilangkan unsur pidana sama sekali dari perbuatan yang melanggar norma ideal yang dilakukan, karena itu bersamaan dan atau sesudah tindakan etik ditegakkan, bila dalam perbuatan yang bersangkutan terdapat perbuatan pidana maka proses hukum pidananya dapat dilanjutkan dan dapat dilakukan secara terpisah sebagiamana kewenangan Badan Kehormatan dan KPK.
Karenanya jika nanti KPK dalam pemeriksaaannya menemukan fakta dan terbukti bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah tindak pidana, sudah otomatis perbuatan tersebut melanggar hukum pidana dan harus dipertanggungjawabkan secara pidana.
Azmi Syahputra
Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha)