Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Amin Ak meminta agar pasal-pasal mengenai pengawasan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diperkuat dalam rancangan revisi undang-undang BUMN (RUU BUMN) yang tahun ini masuk dalam Prolegnas Prioritas DPR. Hal itu didasari oleh kenyataan masih banyaknya kasus korupsi di BUMN yang merugikan keuangan negara.
Kasus paling menyita perhatian publik saat ini adalah skandal Jiwasraya. Mengacu pada laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), total kerugian negara mencapai Rp16,81 triliun. BPK menggunakan metode total loss dalam perhitungan kerugian yang ditanggung negara.
“Kebanyakan kasus di BUMN yang merugikan negara disebabkan moral hazard pengelolanya. Dalam skandal Jiwasraya, negara dua kali dirugikan. Pertama, kerugian akibat penyimpangan sebesar Rp16,81 triliun. Kedua, negara harus memberikan suntikan penyertaan modal negara (PMN)melalui BPUI sebesar Rp20 triliun agar PT Jiwasraya tetap dapat menjalankan usahanya. Hal itu menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat tentang peran lembaga yang melakukan pengawasan kepada BUMN”, kata Amin Ak dalam keterangan tertulisnya, Selasa (16/2/2021).
Dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, pengawasan BUMN diatur dalam pasal 71 ayat 1 yang berbunyi “Pemeriksaan laporan keuangan perusahaan dilakukan oleh auditor eksternal yang ditetapkan oleh RUPS untuk Persero dan oleh Menteri untuk Perum.”
Sedangkan pasal 71 ayat 2 berbunyi “Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dalam pelaksanaannya UU 19/2003 tidak bisa berdiri sendiri karena ada UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang dalam pasal 68 dinyatakan bahwa laporan keuangan perusahaan yang berbentuk PT diaudit oleh Akuntan Publik.
Selain itu untuk industri sektor Jasa Keuangan masih ada lembaga pengawas lain yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diatur dalam UU No. 21 tahun 2011.
Dengan keberadaan beberapa lembaga pengawasan tersebut kenyataannya, kata Amin, proses pengawasan yang ada belum cukup mampu mencegah terjadinya korupsi di BUMN.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini pun mengusulkan, terkait sistem dan mekanisme pengawasan BUMN ini, agar ada pembahasan khusus Rancangan revisi UU BUMN dengan BPK, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ini penting agar bisa dirumuskan bersama model pengawasan yang tepat agar kasus-kasus korupsi di BUMN bisa dicegah.
“Dua hal yang paling menjadi perhatian terkait peran lembaga pengawasan dalam mencegah terjadinya korupsi di BUMN yaitu profesionalitas dan independensi”, tegas anggota komisi VI DPR ini.
Oleh karena itu ketika terjadi kasus korupsi di BUMN yang harus dimintakan tanggung jawab bukan hanya para pelaku korupsi dari unsur manajemen, tapi lembaga pengawasan yang melakukan audit juga perlu diberi sanksi terkait profesionalitas dan independensinya dalam melakukan pengawasan.
Sesungguhnya pengelola dan para auditor/pengawas BUMN terikat dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi Kolusi Nepotisme (UU tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih), khususnya pasal 3 UU tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih.
Oleh karena itu kalau terjadi kasus korupsi yang merugikan negara di BUMN, selain para pengelola yang melakukan fraud secara langsung, lembaga pengawasan juga harus dimintakan pertanggungjawaban. (Bie)