Panggung demokrasi kepemimpinan bangsa Indonesia saat ini diwarnai dengan hilangnya warna oposisi dalam menjaga fungsi kontrol kebijakan termasuk keseimbangan kedaulatan rakyat.
Dengan bertambah gabungnya di pemerintah setelah Pak Prabowo Subianto dan kini di akhir tahun 2020, Pak Sandiaga Uno memberikan warna demokrasi tanpa oposisi. Hal ini karena mereka kini mengambil bagian dalam pemerintahan.
Tentunya semakin membuat tidak ada lagi warna di parlemen dan hilangnya kekuatan “oposisi” dan terpinggirkannya para kelompok politisi kritis penyeimbang pemerintahan selama ini.
Akhirnya para rival politisi yang oposisi dalam Pilpres 2019 lalu, terbukti hanya “memainkan emosi rakyat dan jadikan rakyat pada kebanyakan sebagai objek eksploitasi”, karena akhirnya para politisi handal ini masuk juga bergabung ke koalisi pemerintah atas nama kerja bersama.
Pada umumnya, demokrasi tanpa oposisi maka tidak ada check and balance, sehingga “demokrasi menjadi tidak seimbang dan berpotensi disalahgunakan”. Sifat kritis ketajaman pengawasan anggota DPR atas kebijakan pemerintah kurang maksimal.
Ini tentunya merugikan rakyat, karena dulunya para politisi inilah yang berjanji dan meyakinkan rakyat guna saling rebut suara rakyat seharusnya ada rasa tanggung jawabnya pada rakyat.
Semestinya para politisi ini kalau kalah, konsekuensinya berani tidak menjabat kekuasaan yang selanjutnya berani memberi kesempatan pada pemerintahan yang menang pemilu mengakui jika programnya baik. Tentunya politisi oposisi ini tetap berfungsi mengawasi, meluruskan dan mengkoreksi jalannya pemerintahan jika jalannya tidak tepat. Ini baru namanya bermental politisi sejati bukan malah ikut menjabat.
Semestinya pihak penyeimbang (oposisi) lebih bijaksana mengucapkan terima kasih atas tawaran pemerintah dan menyatakan siap membantu. Toh mereka bagian dari rakyat. Apalagi jika mereka berteman akan lebih mudah mengingatkan dan mengkoreksi. Bukan pula ikut masuk dalam lingkar kekuasaan. Inilah fungsi politik oposisi.
Meskipun demikian, kini tidak ada lagi posisi penyeimbang tersebut. Praktik ketatanegaraan seperti ini kurang ideal dan menjadi kurang mengedukasi politik masyarakat. Karenanya saat ini masyarakat diminta untuk semakin cerdas, tetap menjaga persatuan bangsa Indonesia dan harus bersatu semakin teliti mengawasi dan mengkoreksi pemerintahan.
Kini rakyat harus berani memilih dalam posisi “sparing partner pemerintah yang positif”. Pemerintah harus merasa diawasi oleh kehadiran peran nyata masyarakat.
Idealnya perbedaan yang positif (on the track) dari oposisi adalah rahmat. Kalau semua politisi sama maka tidak ada dialektika yang mengingatkan. Tentunya guna menjadi semakin lebih baik tercapainya tujuan nasional, karenanya
masyarakat ke depan harus lebih selektif dan harus berani menolak partai atau tokoh yang tidak konsekuen dalam perjuangan politiknya.
Azmi Syahputra
Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha)