Jakarta, JurnalBabel.com – Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh mengapresiasi luar biasa atas kerja tim Bareskrim dan jajaran yang dipimpin oleh Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo berhasil menangkap buronan kasus Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra di Malaysia pada Kamis (30/7/2020) dan membawa pulang ke Indonesia untuk diadili.
Penangkapan Djoko Tjandra menyusul kegemparan atas dirinya yang berhasil lolos masuk ke Indonesia untuk melakukan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni lalu.
Menurutnya, Polri telah berhasil menunjukan kinerjanya yang tinggi guna menangkap buronan yang sudah lama di cari dan diburu serta mempermalukan negara. Sebelumnya kepercayaan masyarakat terhadap Kepolisian sangat terpuruk akibat adanya keterlibatan aparat yang membantu Djoko Tjandra.
“Dengan tertangkapnya buron ini maka marwah Polri terselamatkan dan trust masyarakat kembali kuat,” kata Khairul Saleh, Jumat (31/7/2020).
Lebih lanjut politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengatakan Komisi III akan mengawal kasus Djoko Tjandra ini dan meminta semua yang terlibat diusut tuntas.
“Agar ke depannya tidak terjadi lagi oknum di kepolisian yang bersekongkol dengan buronan, maka runtutan kegaduhan kasus Djoko Tjandra ini perlu dibuka seluas-luasnya,” ujarnya.
Pasalnya, tambah Legislator asal Kalimantan Selatan ini, mempertanyakan bagaimana seorang buronan melalui kuasa hukumnya dengan mudah melakukan kontak dengan para pejabat di kepolisian.
“Apakah ada oknum yang lebih tinggi pangkatnya atau lebih besar kewenangannya memberikan perintah atau perlindungan khusus?” tandasnya.
Perhatikan Tiga Hal
Anggota Komisi III DPR Asrul Sani juga mengingatkan kembali jajaran penegak hukum agar memperhatikan tiga hal atas tertangkapnya Djoko. Pertama, Djoko Tjandra harus dieksekusi untuk menjalani pidana penjara 2 tahun berdasarkan Putusan PK Mahkamah Agung (MA).
Kedua, pada saat bersamaan, Polri juga melakukan proses hukum terhadap Djoko atas dugaan tindak pidana yang sudah ditetapkan menjadi tersangka. Dalam hal ini, Djoko pernah membuat surat keterangan bebas virus korona dengan melibatkan Brigjen Prasetyo Utomo yang belakangan dicopot dari jabatannya.
“Juga dugaan memberikan keterangan palsu untuk mendapatkan e-KTP dan paspor. Seluruh dugaan tindak pidana ini harus disidik secara tuntas,” ujar politikus Partai Persatuan Pembangunan ini saat dihubungi.
Ketiga, lanjut Arsul, Kemenkumham perlu memberikan penegasan kepada publik tentang status kewarganegaraan Djoko Tjandra. Pasalnya, Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi yang juga ketua Tim Pemburu Koruptor pernah mengatakan bahwa Djoko telah menjadi warga negara Papua Nuigini.
“Nah kalau dia WNA maka tentu ada perlakuan yang memang berlaku untuk WNA, seperti pemberitahuan terhadap Kedubes dari negara yang bersangkutan,” kata Wakil Ketua MPR ini.
Untuk diketahui, Djoko dipidana dua tahun penjara karena terbukti korupsi terkait pengalihan hak tagih piutang Bank Bali. Ia kabur sehari sebelum putusan tersebut dijatuhkan MA pada 2009.
Selain menangkap Djoko Tjandra, Bareskrim Polri juga menetapkan kuasa hukum Djoko, Anita Kolopaking, sebagai tersangka dalam kasus penerbitan surat jalan, surat pemeriksaan Covid-19, dan surat rekomendasi kesehatan. Anita adalah tersangka kedua setelah Polri menetapkan mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo sebagai tersangka.
Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Argo Yuwono dalam keterangannya mengatakan, penyidik sudah memeriksa 23 orang saksi terkait kasus Djoko Tjandra. Sebanyak 20 orang saksi berasal dari Jakarta, adapun tiga orang saksi lainnya berada di Pontianak.
Saksi-saksi tersebut ada yang berasal dari kalangan Polri maupun masyarakat. Mereka adalah saksi yang mengetahui perjalanan Djoko dari Jakarta ke Pontianak. Polri juga sudah mengantongi berbagai barang bukti di antaranya surat pemeriksaan Covid-19, surat rekomendasi kesehatan, dan surat jalan palsu yang diterbitkan atas nama Djoko Soegiarto Tjandra dan Andika. Selain itu, Mabes Polri juga menerima surat dari Kejaksaan Agung kepada Bareskrim terkait status hukum Djoko Tjandra.
”Pasal yang diterapkan (kepada tersangka Anita Kolopaking) adalah Pasal 263 Ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur tentang pemakaian surat palsu yang menimbulkan kerugian dan Pasal 223 KUHP tentang Melepas, Memberi Pertolongan ketika meloloskan diri kepada orang yang ditahan atas keputusan hakim,” kata Argo.
Perjalanan Kasus Djoko Tjandra
Djoko Tjandra menjadi terpidana dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar. Kasus ini berawal pada tahun 1998 di tengah hiruk pikuk reformasi. Saat itu, Bank Bali tak dapat menagih piutang ke Bank Dagang Nasional Indonesia milik Sjamsul Nursalim dan Bank Umum Nasional milik Bob Hasan masing-masing Rp 508 miliar dan Rp 200 miliar.
Kedua bank tersebut menjadi “pasien” Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), namun lembaga ini tak pernah menghiraukan tagihan. Sebab, merujuk pada Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Jaminan Pemerintah, Bank Bali telat mendaftarkan piutang tersebut.
Setelah 76 kali menagih tanpa hasil sepanjang Februari hingga Desember 1998, Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli menguasakan tagihan kepada PT Era Giat Prima, dengan komisi separuh nilai tagihan. Direktur perusahaan ini tak lain adalah Djoko Soegiarto Tjandra. Sementara Direktur Utamanya adalah Setya Novanto, terpidana kasus korupsi e-KTP.
Pencairan piutang ternyata melibatkan sejumlah pejabat. Pada 11 Februari 1999, Ketua Dewan Pertimbangan Agung Arnold Baramuli, Menteri BUMN Tanri Abeng, Gubernur BI Syahril Sabirin, dan pimpinan Bank Bali bertemu di Hotel Mulia Jakarta. Sebagian besar membantah adanya pertemuan ini.
Akan tetapi, hasil pertemuan inilah yang diduga berbuntut pada perubahan petunjuk dari Menteri Keuangan. Sehingga uang Rp 904 miliar mengalir dari Bank Indonesia ke rekening Bank Bali sebesar Rp 358 miliar dan Era Giat, Rp 546 miliar. Belakangan juga terkuak pengalihan tagihan itu hanya akal-akalan untuk menjaring komisi.
Singkat cerita, Djoko pun ikut jadi tersangka dan terdakwa. Pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000, Kejaksaan pernah menahan Djoko. Namun hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan perbuatan pidana melainkan perdata.
Pada Oktober 2008, Kejaksaan Agung mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap kasus Djoko ke Mahkamah Agung. Pada 11 Juni 2009, Majelis Peninjauan Kembali MA menerima PK yang diajukan jaksa. Majelis hakim memvonis Djoko 2 tahun penjara dan harus membayar Rp 15 juta. Uang milik Djoko di Bank Bali sebesar Rp 546,166 miliar dirampas untuk negara. Imigrasi juga mencekalnya yang sudah berstatus terpidana.
Mengetahui hal itu, pada 10 Juni 2009, Djoko Tjandra kabur dari Indonesia ke Port Moresby, Papua Nugini, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkaranya. Akibatnya, Kejaksaan menetapkan Djoko sebagai buronan. Belakangan, ia diketahui kembali masuk ke Indonesia untuk mendaftarkan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Rabu kemarin, 29 Juli 2020, permohonan PK dari Djoko tidak diterima oleh PN Jakarta Selatan. Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud Md, permohonan PK tidak diterima karena berkas administrasi tidak lengkap, bukan berarti ditolak.
Sehingga, ujar Mahfud, bisa saja Djoko mengajukan PK kembali. Namun jika sampai diajukan PK lagi maka Joko sudah menjadi urusan lembaga yudikatif, yaitu Mahkamah Agung (MA). Menurut dia, tugas pemerintah hanya sampai menghadirkan Djoko Tjandra dan akan terpenuhi dengan tertangkapnya buronan ini di Malaysia. (Bie)