Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi IX DPR Fraksi PAN, Ashabul Kahfi, menilai potongan biaya aplikasi di atas 30 persen yang dilakukan aplikator ojek online atau Ojol merupakan masalah serius yang harus segera ditindaklanjuti.
Pasalnya, hal itu melebihi batas maksimal 20 persen potongan bagi hasil aplikasi Ojol sesuai Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 1001 Tahun 2022.
“Kami di Komisi IX DPR RI mendorong koordinasi lintas kementerian, khususnya antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Komunikasi Digital, termasuk Kemnaker, (Kementerian Ketenagakerjaan),” ujar Ashabul Kahfi saat dihubungi, Rabu (15/1/2025).
Menurur Ashabul, tidak boleh ada saling lempar tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah ini, karena yang paling dirugikan adalah mitra pengemudi ojek online.
“Untuk itu, kami akan berkoordinasi dengan Komisi terkait di DPR RI guna menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) gabungan dengan kementerian terkait, termasuk perwakilan aplikator,” katanya.
Ashabul menambahkan, rapat ini bertujuan untuk memastikan implementasi regulasi berjalan dengan baik, memperkuat mekanisme pengawasan, serta mengevaluasi regulasi agar lebih responsif terhadap kebutuhan mitra pengemudi dan perkembangan industri transportasi daring.
“Prioritas utama kami adalah melindungi hak dan kesejahteraan pengemudi, sebagai salah satu pilar penting layanan transportasi masyarakat,” pungkasnya.
Sebelumnya, Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia, memprotes biaya potongan di atas 30 persen yang dilakukan oleh pihak aplikator.
Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia, Igun Wicaksono mengaku, pihaknya telah berulang kali memprotes keras soal tingginya potongan biaya aplikasi, yang dinilai sudah sangat tidak manusiawi dan melanggar regulasi yang dibuat oleh Kementerian Perhubungan RI.
Namun, fakta yang terjadi di lapangan kepada para driver ojol tersebut, adalah bahwa potongan aplikasi yang diterapkan oleh dua perusahaan aplikasi besar justru lebih dari 20 persen, bahkan hingga lebih dari 30 persen. Tapi sayangnya, hal ini tidak membuahkan tindak lanjut berupa sanksi dari regulator atau dari pihak Kementerian Perhubungan.
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik (BKIP) Kementerian Perhubungan, Budi Rahardjo menegaskan kewenangan Kemenhub hanya memberikan rekomendasi terkait batasan potongan dari perusahaan aplikator. Sementara tindak lanjut bagi perusahaan aplikator merupakan kewenangan Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi), selaku pihak yang berwenang melakukan evaluasi terhadap mereka.
“Dulu peraturan dibuat karena ada kepentingan dengan transportasi, walaupun aplikator di bawah Komdigi. Maka kita ke Komdigi hanya memberikan rekomendasi agar Komdigi memberikan teguran kepada aplikator. Jadi Kemenhub tidak bisa secara langsung (menegur aplikator),” kata Budi saat ditemui di kantor Kemenhub, Jakarta, Selasa (14/1/2025).
Dia mengakui bahwa ada permintaan dari komunitas driver ojol terkait masalah besarnya potongan aplikasi. Namun, Budi mengaku saat ini pihaknya masih mengkoordinasikan masalah ini secara internal, karena Kemenhub tidak bisa secara langsung mengumpulkan data di lapangan sial bagaimana kebijakan itu diberlakukan.
Terlebih, Kemenhub sendiri memiliki aturan soal batasan potongan perusahaan aplikator, yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 1001 tahun 2022 tentang Perdoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Nasyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi.
“Biasanya kita dapatnya dari mitra, mitranya aplikator. (Kalau soal mengawasi perusahaan aplikasi) kita tidak punya kemampuan atau kewenangan, karena itu masuknya karena mereka di bawah kewenangan Komdigi,” ujarnya.
(Bie)