Jakarta, JURNALBABEL- Anggota DPR dari fraksi Demokrat Johnny Allen Marbun menyebutkan, persoalan sampah dan limbah di Danau Toba masih menganggu padahal objek wisata itu masuk rencana induk Kawasan Strategis 2025.
“Saya sering katakan ini masalah sampah dan limbah harus diperhatikan benar,” kata Jhonny saat dalam diskusi dengan Pemda soal kawasan wisata Danau Toba di hotel Prapat. Simalungun, Sumatera Utara, Jumat (5/4/2019).
Caleg dari Dapil Sumur II ini pun berharap agar sampah ini tidak merusak ekologi danau yang memiliki kedalaman 505 meter itu. “Padahal kalau dikelola dengan benar sampah ini dapat menghasilkan pendapatan dengan memproduksi pupuk kompos,” jelasnya.
Hal senada juga dengan Jhonny juga dikatakan Anggota DPR Fraksi Golkar, Anthon Sihombing. Namun, kata dia, hal itu membutuhkan proses.
“Karena kita berharap pembangunan danau Toba menerapkan ekowisata atau wisata yang berkelanjutan secara pembangunan sosial, ekonomi dan kekayaan lokal. Karena pembaangunan wisata bisa menstimuluskan pembangunan daerah sekitarnya,”tegas Anthon yang juga Ketua BURT DPR RI ini.
Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sumatera Utara, Binsar Situmorang menyebutkan, memang membutuhkan waktu lama untuk dapat mengembalikan kualitas air danau Toba setelah tercemari oleh Keramba Jaring Apung (KJA).
Yakni, sekitar 70 tahun. “Kalau untuk menuntaskan masalah pencemaran lingkungan secara cepat atau tuntas itu tidak mungkin karena perlu waktu. Kita lihat hasil penelitian terlebih dahulu, harus butuh waktu sampai 70 tahun ke depan,” kata Binsar kepada media setempat, Medan, Kamis (4/4/2019).
Binsar juga mengatakan, saat ini ada beberapa titik di danau Toba sudah sangat tercemari akibat kerusakan lingkungan yang terjadi.
“Haranggaol, Pakat, Tiga Ras dan Salbe. Di sana pencemaran dari mulai dari sedang dan sampai terparah memang ada di sana lah,” ujarnya.
Menurut penelitian atau pengawasan yang dilakukan oleh timnya menemukan, masyarakat terbanyak memiliki KJA ini.
Karena masyarakat dengan keterbatasan pengetahuannya mengenai pencemaran lingkungan, kata dia, itu yang membuat tidak terkendali.
“Dan KJA milik masyarakat yang terbanyak bukan milik perusahaan. Jadi masyarakat dengan keterbatasan informasi atau pengetahuan tentang KJA itu, inilah membuat kita memang tidak terkendali,” ujarnya.
Pemerintah provinsi melalui DLH tidak bisa membatasi jumlah KJA yang ada di perairan itu, karena kewenangan atau kebijakan berada di Kabupaten.
Binsar Situmorang menyampaikan, pihak Kabupaten harus proaktif lagi untuk rutin memeriksa kondisi air di danau terbesar di Indonesia itu.
“Masyarkat itu izinya dari kepala daerah, bukan dari provinsi. Jadi otomatis harus melalui kabupatennya pro aktif turun ke lapangan memberikan penjelasan dan sosialisasi hingga mendeteksi. Bagaimana kualitas air danau Toba itu saat ini dengan banyaknya KJA,” ucapnya.
Selanjutnya, Binsar mengatakan, beberapa tempat yang sudah ditetapkan mengalami kerusakan terparah pencemaran lingkungan diketahui juga tidak memiliki izin.
“Memerlukan penanganan yang serius, jangan sampai tidak terkendali. Mereka itu juga tidak memiliki izin sebetulnya, tetapi itu pihak kabupaten yang langsung mengetahuinya,” ucapnya. (Joy)
Editor: Hendrik JS