Jakarta, JurnalBabel.com – Ahli hukum pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Achmad, sepakat keberadaan Badan Narkotika Nasional atau BNN dievaluasi atau bahkan dibubarkan seperti yang diusulkan oleh para anggota komisi hukum DPR. Namun ia lebih sepakat keberadaan BNN dilebur atau digabungkan ke institusi Polri.
Pasalnya, lanjut Suparji, disetiap Polda ada direktorat narkoba. Sehingga, tidak perlu lagi ada lembaga lainnya. Hal itu kata Suparji juga sejalan dengan pernyataan Presiden Jokowi yang menginginkan debirokratitasi dalam periode kedua pemerintahannya.
“Menurut saya dilebur saja bersama Polri, debirokratisasi. Meskipun sebenarnya negara ini apa. Ada kesenjangan antara suara dan pilihan tidak jelas. Misalnya debirokratisasi, tetapi wakil menteri diperbanyak. Pola-pola seperti itu tidak ada konsistensi,” ujar Suparji Achmad di Jakarta, Jumat (22/11/2019).
Dijelaskannya bahwa BNN merupakan lembaga yang mempunyai otoritas yang strategis dalam pemberantasan narkotika. Logikanya, sebut dia, dengan adanya BNN seharusnya kejahatan narkoba itu berkurang.
“Tapi dimana-mana, 80 persen di pengadilan, lapas, itu di isi kasus kejahatan narkoba. Jadi persoalannya dimana? Itu yang harus dipertanggungjawabkan BNN. Tidaknya hanya menyelesaikan, tapi mengurai masalah dan juga berkoordinasi dengan lembaga lain. Faktanya kenapa itu bisa terjadi?,” katanya mempertanyakan.
Menurut Suparji, perlu ada sebuah standarisasi terukur apabila nantinya ingin tetap mempertahankan keberadaan BNN. Misalnya, sejak kapan BNN berdiri. Lalu setelah berdiri, apakah ada perubahan atau tidak yang signifikan dalam pemberantasan narkotika di Indonesia.
Apabila yang terjadi justru peredaran narkotika semakin marak, padahal anggaran yang dikeluarkan besar, maka kata Suparji sebaiknya BNN dilebur ke Polri.
“Jadi saya setuju dengan evaluasi secara konkrit kinerja BNN itu. Dari hasil evaluasi itu dilakukan apakah di integrasikan dengan lembaga yang lain atau diperkuat keberadaannya. Jangan sampai kita berperang melawan narkoba, tapi faktanya masih seperti ini,” tegasnya memaparkan.
Adanya penilaian berbagai kalangan bahwa BNN menjadi “tempat parkir” atau bagi-bagi jabatan bagi para jenderal polisi, Suparji menilai hal itu ada faktanya.
“Akar persoalannya narkotika ini dimana? Semua seleksi jabatan pakai bebas narkoba, ini jadi birokrasi mekanisme baru, tapi tidak menjamin bebas narkoba. Jadi perlu evaluasi menyeluruh terkait keberadaan BNN,” tegasnya kembali.
Suparji yang sering kali menjadi ahli dalam berbagai persidangan ini juga menyinggung mengenai revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dalam UU tersebut tidak mengatur pembedaan hukuman bagi bandar dengan pemakai narkoba. Seharusnya, kata Suparji, pemakai narkoba itu direhabilitas. Namun akhirnya saat ini pemakaiditempatkan sebagai pengedar.
Ditambahkannya, hal itu menjadi keluhan banyak orang. Akibatnya, penjara jadi penuh over capacity. Akhirnya, hukuman pidana itu menjadi suatu andalan menyelesaikan perkara. Padahal hal yang harus diutamakan adalah pencegahannya.
“Jadi UU Narkotika ini harus di revisi dan ada keinginan untuk melakukan itu. Tapi revisinya itu harus jujur, penyebabnya apa, solusinya apa? jangan banyak norma-norma yang mengkriminalisasi. Seharusnya diutamakan pencegahan, tapi negara ini pencegahannya seperti apa,” pungkasnya.
Sebelumnya, anggota komisi hukum DPR RI dari Fraksi PAN, Sarifuddin Sudding geram karena BNN tak kunjung memiliki terobosan untuk memberantas narkoba di Indonesia. Padahal, Indonesia masuk dalam lingkaran darurat narkoba dan BNN adalah leading sector dalam upaya memerangi narkoba. Sebab itu, Sudding meminta keberadaan BNN dievaluasi.
Menurutnya, apakah BNN tetap dipertahankan atau dilebur dengan Polri. Hal itu dikatakan Sudding saat rapat kerja Komisi III dengan BNN di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (21/11/2019).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh anggota Komisi Hukum DPR RI dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu. Jika BNN tidak bisa memberantas narkoba, ujar dia, maka lebih baik dibubarkan saja. Dengan segala kelengkapan dan sumber daya cukup yang dimiliki BNN, ujar Masinton, seharusnya alat-alat yang dibeli dengan biaya triliunan dan sumber daya yang digaji negara, harus bisa digunakan dalam perang melawan narkoba. (Bie)