Jakarta, JurnalBabel.com – Wacana pemulangan WNI eks anggota Islamic State in Iraq and Syiria (ISIS) ke tanah air oleh Kementerian Agama belakangan mendapat banyak sorotan. Kebijakan itu pun menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Wacana yang pertama kali dilontarkan Menteri Agama Fachrul Razi itu perlu didukung dengan alasan kemanusiaan. Pihak lain juga mengatakan bahwa pemerintah mesti berhati-hati akan potensi buruk akibat ideologi ekstemisme yang mereka bawa dari Timur Tengah.
Bahkan, ada pihak yang mengkritik dan menyebut rencana pengembalian WNI tersebut bukan wewenang Menteri Agama, melainkan Menteri Luar Negeri.
Menanggapi hal itu, anggota komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi tak menampik jika usulan memulangkan warga negara yang terlanjur bergabung dengan ISIS itu dilakukan oleh Pemerintah.
“Secara prinsip, negara berkewajiban untuk melindungi warganya yang ingin kembali ke Indonesia,” ujar Bobby di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Namun, politisi Partai Golkar ini meminta pemerintah tak abai melihat kondisi WNI tersebut. Pasalnya, keterlibatan mereka bergabung dengan ISIS begitu beragam.
Ada yang bergabung dan menjadi anggota kombatan dalam perang hingga ideologi ekstremismenya begitu kuat. Sementara ada pula yang ikut namun tidak menjadi bagian kombatan melainkan hanya bertugas di kamp-kamp ISIS.
“Saya hanya ingin memastikan negara mempunyai protokol penyaringan khusus agar bisa mengidentifikasi mana yang kiranya masih bisa hidup dalam budaya Indonesia dan menerima Pancasila, inilah yang perlu dibantu,” katanya.
Sebab itu, Bobby meminta pemerintah mengkaji hal tersebut. Mengkategorikan tingkat paparan ideologi ekstremisme ISIS terhadap WNI menjadi penting agar pemerintah sendiri tak menggeneralisir semua WNI itu layak dikembalikan ke Indonesia.
Sebab, jika pemerintah kecolongan, hal itu akan menjadi dampak buruk yang besar bagi Indonesia yang sedang gencar memberantas radikalisme.
Begitu juga jika pemerintah bersikap enggan terhadap 600 WNI tersebut. Dikhawatirkan masih ada WNI yang memungkinkan untuk direhabilitasi, namun tak mendapat kesempatan untuk menerima haknya sebagai warga negara dan kembali ke Tanah Air dengan berjanji menghormati ideologi negara.
“Kalau yang sudah jelas kombatan dan pernah menyatakan diri tidak bisa hidup di Indonesia, ya tidak perlu di proses lagi kepulangannya,” pungkas pria lulusan Cleveland State University Amerika Serikat ini. (Bie/TS)