Jakarta, JurnalBabel.com – Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI melakukan rapat dengan Dirjen Anggaran & Dirjen Keuangan Kementerian Keuangan, Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian PPN/Bappenas dan Dirjen Bina Keuangan Daerah & Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri untuk membahas penelaahan BAKN terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI terkait tindak lanjut dan solusi permasalahan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dalam rapat yang diselenggarakan di Jakarta pada Rabu (16/3/2022), wakil ketua BAKN, Anis Byarwati, menyampaikan pandangannya. Pertama, Anis mengingatkan bahwa sejak digulirkannya Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) termasuk DAK yaitu tahun 2001 hingga 2022 saat ini, permasalahan yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan TKDD masih sama. Permasalahan yang terjadi pada tahun 2021 seperti keterlambatan juknis, ternyata masih sama dengan puluhan tahun lalu.
“Jika kita perhatikan berbagai penelitian atau berbagai informasi yang didapatkan dari kunjungan-kunjungan kerja BAKN, kita menemukan permasalahan yang sama. Tidak bergerak,” kata Anis.
Ia mengungkapkan penelitian yang dilakukan oleh BAPPENAS pada tahun 2011 yang sudah secara khusus menelaah tentang DAK. Penelitian tersebut mengungkap kelemahan DAK termasuk apa saja poin-poin yang menjadikan DAK tidak efektif serta rekomendasinya.
Temuan BAKN pada saat ini, ternyata sudah ditemukan oleh penelitian BAPPENAS pada tahun 2011. Salah satunya tentang definisi DAK yang sebetulnya ditujukan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, namun dalam pelaksanaannya bergeser.
“Definisi yang ambigu ini, ternyata sudah ditemukan dalam penelitian BAPPENAS tahun 2011. Dan sekarang, permasalahan yang ditemukan juga masih sama,” tegasnya.
Ia pun menyesalkan persoalan sama yang telah terjadi berpuluh tahun, hingga saat ini belum mengarah kepada solusinya. “Kami berharap dengan BAKN menelaah secara khusus, DAK ini bisa diperbaiki,” ujarnya.
Terkait dengan komposisi TKDD, DAK dengan alokasi anggaran 7% terhitung paling kecil dibandingkan dengan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Umum (DAU) yang alokasi anggarannya diatas 10%. Namun, anggota Komisi XI DPR RI ini melihat permasalahan sebenarnya bukan tentang besar atau kecilnya nilai anggaran akan tetapi bagaimana tata kelolanya.
Ia juga menegaskan bahwa penggunaan DAK yang benar-benar sesuai dengan tujuan peruntukannya serta tata kelolanya, menjadi masalah di daerah.
“Walaupun jumlahnya kecil, bukan berarti DAK tidak punya implikasi. DAK jelas memiliki implikasi terhadap kepentingan nasional, karena ia merupakan dana yang dialokasikan untuk prioritas nasional di daerah. Jadi nasional akan terganggu ketika DAK tidak diimplikasikan dengan baik,” jelasnya.
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan ini juga menyampaikan tentang tingginya ekspektasi daerah untuk mendapatkan TKDD yang sudah terjadi sejak lama. Hal ini disebabkan karena ketergantungan daerah kepada pusat untuk membangun daerahnya.
Hampir seluruh daerah hanya memiliki porsi PAD tidak lebih dari 20% untuk pembangunan daerahnya, sementara 80% anggaran daerah menggantungkan diri kepada TKDD termasuk didalamnya DAK.
“Komposisi ini menggambarkan kemandirian fiscal di Indonesia sangat memprihatinkan. Bertahun-tahun kita sudah memberikan transfer dari pusat , tapi hingga saat ini setelah 20 tahun berlalu daerah belum bisa membangun kemandirian fiskalnya. Jika pusat telat mengirimkan transfer ke daerah, maka pembangunan di daerah otomatis terhambat. Dan situasi ini sangat memprihatinkan,” paparnya.
Oleh karena itu, politisi senior PKS ini menyarankan agar pemerintah memberikan masukan-masukan yang lebih tajam kepada BAKN dan tidak hanya bersifat normatif. Hal ini dibutuhkan karena BAKN akan melaporkan hasil kajian-kajian dan penelaahan yang telah disusunnya kepada pimpinan DPR RI.
Salah satu masukan yang perlu dipertajam menurut Anis yaitu mengenai tata kelola DAK ke depan agar lebih baik dan tidak terjadi lagi hal-hal yang sekarang ini masih menjadi permasalahan.
“Walaupun sudah ada UU HKPD yang telah disahkan DPR, namun masih banyak daerah yang mengeluhkan implementasinya, terutama untuk pasal-pasal yang masih memberatkan bagi daerah. Sehingga UU ini belum menjawab permasalahan yang ada,” pungkasnya. (Bie)