Jakarta, JurnalBabel.com – Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Achmad mendukung implementasi restorative justice dalam kasus korupsi yang kerugian keuangan negara besarnya di bawah lima puluh juta rupiah. Sebab, pendekatan restoratif sangat mungkin diterapkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
“Pendekatan restorative memiliki potensi yang besar untuk diterapkan ke dalam sistem peradilan pidana sebagai alternatif pilihan dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia,” kata Suparji dalam keterangannya di Jakarta, kemarin.
Menurut Suparji, pendekatan restoratif merupakan implementasi tujuan pemidanaan dalam perspektif Pancasila, yakni pemidanaan yang berorientasi pada pengakuan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
“Dengan pendekatan restoratif, maka pemidanaan tidak bertentangan dengan keyakinan agama apapun yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pemidanaan harus diarahkan kepada penyadaran iman dari pelaku tindak pidana,” terangnya.
Ia juga memaparkan bahwa melalui pendekatan restoratif, tujuan penyelesaian tindak pidana adalah memulihkan keadaan kepada kondisi semula. Maksudnya adalah mengatasasi konflik secara etis dan layak, serta menciptakan kesepakatan yang bersifat memulihkan.
“Sehingga segala bentuk kerusakan dan kerugian yang terjadi akibat terjadinya suatu tindak pidana dapat dipulihkan kepada kondisi semula,” paparnya.
Suparji tak menampik jika korupsi memang perilaku keji, akan tetapi tidak semua jenis korupsi harus berakhir di jeruji besi. Jika korupsi tersebut hanya merugikan negara dalam jumlah kecil (tiny corruption), tak perlu dituntut di pengadilan.
“Jika kita menilik lebih jauh, ternyata model yang demikian dipraktekkan di negara China. Negara yang terkenal hukuman mati untuk koruptor itu tidak melakukan penuntutan dalam kasus korupsi skala kecil,” ungkapnya.
Selain memperhatikan jumlah korupsi yang kecil, restorative justice dalam menangani korupsi juga harus memperhatikan mens rea. Dalam hal ini Kejaksaan perlu melihat kenapa yang bersangkutan terjebak dalam tindak pidana korupsi.
“Perlu didalami, apakah tindak pidana korupsi tersebut, karena pelaku terjebak dalam sistem atau karena kebutuhan mendesak atau justru untuk melakukan foya-foya dan mengambil keuntungan pribadi? Maka pendekatan restoratif bagus untuk dijalankan dengan syarat yang ketat, setidaknya dua unsur utama yaitu jumlah kerugian keuangan negara yang sangat kecil dan tidak unsur niat jahat untuk korupsi (mens rea),” jelasnya.
Perbuatan yang terjadi dapat dikontruksikan bahwa pelaku merupakan korban dari sistem dan tidak ada nat jahat untuk melakukan korupsi, namun demikian yang bersangkutan tetap diminta pertanggungjawabannya, dalam bentuk pengembalian kerugian keuangan negara.
Pendekatan ini bukan berarti memberikan toleransi atau permisif terhadap tindak pidana korupsi, tetapi merupakan langkah yang mengedukasi dan menjerakan kepada pelaku dengan memperhatikan unsur subyektif dan obyektif terjadinya perbuatan tersebut serta memberikan pengawasan yang ketat dalam implementasinya sehingga tidak adanya ruang konspirasi.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini juga menjelaskan polemik di masyarakat ketika ada perbandingan antara kasus Korupsi 50 juta dengan kasus pencurian 5 juta adalah berbeda.
Menurutnya, korupsi dengan 50 juta kerugian keuangan negara, korbannya adalah negara sementara pencurian 5 juta korbannya adalah orang perseorangan. Maka permaafan terhadap korupsi 50 juta tidak bisa juga disandingkan dengan pencurian 5 juta yang tidak dimaafkan, sehingga memunculkan pendapat adanya ketidakadilan.
“Negara sebagai korban bisa saja memaafkan korupsi 50 juta karena biaya penindakan begitu besar sehingga bertambah rugilah negara. Demikian juga pencuri 5 juta pun dapat dimaafkan oleh korban pencurian selanjutnya disetujui oleh negara selaku pihak dalam perkara pidana,” pungkasnya. (Bie)