Jakarta, JurnalBabel.com – Guru besar ilmu hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Suparji Ahmad, menilai rumitnya regulasi di Indonesia menjadi salah satu biang kerok terjadinya budaya korupsi di Indonesia.
Menurutnya, regulasi yang berbelit-belit membuka peluang seseorang untuk melakukan korupsi.
“Penyebab yang lain saya kira karena faktor regulasi itu memberikan ruang terjadinya interpretasi tentang korupsi,” kata Prof. Suparji dalam acara diskusi virtual Forum Insan Cita bertemakan Agenda Pemberantasan Korupsi Kabinet Merah Putih, yang dihadiri oleh sejumlah guru besar dan juga doktoral bidang hukum dan HAM, Ahad (15/122024).
Prof Suparji menjelaskan, selama ini muncul perdebatan tentang interpretasi unsur kerugian keuangan negara dari tiga instansi penegak hukum yang melakukan upaya pemberantasan korupsi. Baik dari sisi Kepolisian, Kejaksaan maupun KPK.
“Perdebatan tentang uang BUMN atau uang negara atau bukan, pendekatan gratifikasi dan suap atau bukan dan sebagainya. Secara regulasi masih menimbulkan persoalan yang kemudian membuka ruang terjadinya interpretasi oleh para penegak hukum,” jelasnya.
Ubah Aturan Kolonial
Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut) ini berpandangan, aturan hukum dalam tindak pidana korupsi di Indonesia masih menggunakan warisan zaman kolonial, sehingga harus diubah untuk menyesuaikan perkembangan zaman.
Salah satu poin yang perlu diubah menurutnya adalah terkait pemenjaraan badan pelaku korupsi.
“Itu warisan kolonial yang kemudian masih sangat melekat, bahkan sangat dianggap berhasil ketika ada suatu penegakan hukum dalam korupsi kemudian dilakukan pemenjaraan,” kata Suparji seperti dilansir dari rmol.id.
Penyebab yang lain, lanjut dia, adalah praktik penegakkan hukum yang tidak independen, yang mempengaruhi sistem politik maupun ekonomi di Indonesia.
Dengan kata lain, ada upaya membuat aturan baru yang membuka celah untuk melakukan korupsi tanpa terkena asas hukum yang berlaku.
“Saya kira juga tersirat bahwa adanya satu praktik penegakan hukum yang kemudian tidak munculnya satu hukum yang betul-betul sebagai suatu yang independen,” tuturnya.
“Tetapi kemudian ada faktor-faktor yang mempengaruhi baik politik maupun ekonomi, yang kemudian pada akhirnya adalah menegaskan bahwa hukum itu sesuatu yang mestinya apa adanya tapi ternyatanya ada apa-apanya,” tegas Prof Suparji.