Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Demokrat, Anwar Hafid, menolak opsi yang ditawarkan KPU apabila Pemilu 2024 digelar pada 15 Mei 2024, maka Pilkada serentak yang awalnya digelar pada 27 November 2024, diundur ke 19 Februari 2025.
Pasalnya, kata Anwar, hal itu akan melanggengkan kekuasaan. Di mana, bakal ada ratusan pelaksana tugas kepala daerah yang diangkat Kepala Negara. Padahal sistem Pilkada di Indonesia yakni dipilih langsung oleh rakyat.
“Karena nanti ada semua kepala daerah di Indonesia ini minus kepala daerah yang terpilih 2020, itu mereka diangkat oleh presiden, tidak diangkat oleh rakyat,” kata Anwar Hafid di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/10/2021).
“Kita tidak kita ingin kepala daerah kita yang sudah kita sepakati pemilihan langsung oleh rakyat, nanti memiliki waktu yang panjang melaksanakan amanah itu, tanpa mandat dari rakyat,” tambahnya.
Mantan Bupati Morowali ini juga mengingatkan penyelenggaraan Pilkada serentak pada November 2024 tersebut merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Sementara, Pemerintah dan DPR sudah sepakat tidak merevisi aturan main mengenai Pemilu dan Pilkada.
“Kalau ini terjadi, yang pertama kami terus terang di partai Demokrat menolak itu. Kenapa menolak, karena ini bertentangan dengan komitmen kita tidak ada revisi undang-undang,” tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, KPU RI mengaku telah mengajukan 2 opsi pelaksanaan pesta demokrasi terdekat yakni Pemilu dan Pilkada, setelah melakukan simulasi berbagai skenario.
Opsi pertama, KPU mengusulkan hari pemungutan suara Pemilu digelar 21 Februari 2024, dan Pilkada 27 November 2024. Sementara opsi kedua, KPU usul Pemilu digelar 15 Mei 2024, dan Pilkada digelar 19 Februari 2025.
“KPU mengajukan dua opsi, yakni opsi I hari H Pemilu 21 Februari 2024 dan Pilkada 27 November 2024, serta opsi II yakni hari H Pemilu 15 Mei 2024 dan Pilkada 19 Februari 2025,” kata Komisioner KPU RI Pramono Ubaid dalam keterangan tertulisnya, Kamis (7/10/2021).
KPU tidak berpatok pada tanggal, tapi terpenting yakni adanya kecukupan waktu pada setiap tahapan pemilihan mulai dari proses pencalonan Pilkada tak terganjal proses sengketa di MK.
Serta tidak adanya irisan tahapan yang terlalu tebal antara Pemilu dan Pilkada, sehingga secara teknis bisa dilaksanakan, lalu juga pertimbangan tidak menimbulkan beban terlalu berat bagi jajaran penyelenggara di daerah.
Terkait dengan opsi kedua, Pramono mengatakan ada konsekuensi yang harus diberikan. Yakni diperlukannya dasar hukum baru. Sebab jadwal pelaksanaan Pilkada telah ditentukan oleh UU Pilkada yaitu November 2024.
“Sehubungan dengan opsi kedua ini maka berkonsekuensi pada perlunya dasar hukum baru, karena mengundurkan jadwal Pilkada yang telah ditentukan oleh UU Pilkada (November 2024) ke bulan Februari 2025,” jelas Pramono.
(Bie)