Jakarta, JurnalBabel.com —Belakangan ini beberapa video kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah tersebar luas di masyarakat seperti yang terjadi di salah satu SMK di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan semua pihak. Padahal, sekolah dan institusi pendidikan sejatinya adalah tempat bagi siapa saja terutama anak-anak menjadi manusia seutuhnya agar berani mengubah penindasan menjadi keadilan, ketertinggalan menjadi sebuah peradaban dan kekerasan menjadi kedamaian.
Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, tidak hanya di Indonesia, persoalan kekerasan baik verbal, fisik, bahkan seksual di sekolah juga menjadi tantangan di banyak negara di dunia. Bahkan banyak negara menjadikan persoalan ini sebagai program prioritas demi menekan dan menghilangkan aksi kekerasan yang terjadi di sekolah.
Beberapa negara sudah berhasil menekan aksi kekerasan di sekolah dengan memformulasikan cetak biru pendidikan anti-bullying yang berisi kerangka kerja terperinci sebagai landasan kebijakan, sasaran, strategi hingga kepada detail kegiatan serta teknis pelaksanaan di mana sekolah menjadi yang terdepan mengimplementasikannya.
“Tentunya (kekerasan di lingkungan sekolah) ini harus menjadi perhatian semua pihak. Sebenarnya kita sudah punya konsep dan formulasi yang menurut saya cukup efektif dan komprehensif yaitu Sekolah Ramah Anak (SRA). Dengan berbagai penyempurnaan, hemat saya, SRA bisa diperluas implementasinya dan dijadikan program prioritas untuk menekan dan menghentikan kekerasan di sekolah,” ujar Fahira Idris, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/3/2020).
Menurut Fahira, SRA yang digagas sejak 2014 dan sudah diimplementasikan beberapa sekolah sangat efektif menekan bahkan menihilkan angka kekerasan di sekolah. Formulasi SRA yang ada saat ini cukup komperhesif mulai dari konsep, komponen, tujuan, hingga tahapan pembentukan (persiapan; pelaksanaan; perencanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan).
Selain sekolah diwajibkan menjadi sekolah yang bersih, aman, ramah, indah, inklusif, sehat, asri, dan nyaman, komponen penting dari SRA ini adalah mengedepankan partisipasi anak dan mengutamakan kolaborasi mulai dari orang tua, lembaga masyarakat, dunia usaha, stakeholder lainnya, bahkan hingga alumni.
Konsep perlindungan peserta didik SRA, lebih luas dari sekedar mencegah terjadinya kekerasan di sekolah baik antarsiswa, guru dengan siswa ataupun sebaliknya, atau orang tua murid dengan guru. Ini karena SRA bertujuan menciptakan iklim kehidupan di sekolah yang sama sekali tidak ada kekerasan.
Dalam SRA, peserta didik dilatih dan digerakkan hatinya dengan pembiasaan- pembiasaan yang positif sehingga tidak menjadi pelaku kekerasan, bahkan terhindar dari perilaku buruk lainnya seperti merokok dan narkotika.
Semangatnya SRA, sambung Fahira adalah menciptakan hubungan antar warga sekolah yang lebih baik, akrab dan berkualitas yang memang menjadi kunci untuk menghentikan kekerasan di sekolah. Untuk itu, berbagai instansi terkait terutama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Pemerintah Daerah, perlu duduk bersama untuk melakukan percepatan implementasi SRA.
“Masih sedikit sekolah yang menyandang status SRA di Indomesia, padahal ini jawaban persoalan kekerasan di sekolah. Mudah-mudahan semua stakeholder terkait tergerak untuk melakukan percepatan SRA di semua sekolah yang ada di Indonesia,” pungkas Fahira. (Bie)
Editor: Bobby