Jakarta, JurnalBabel.com – Wakil Ketua Komisi III DPR, Mohamad Rano Alfath, menilai perampasan aset hasil tindak pidana korupsi dan pencucian uang (TPPU) merupakan elemen krusial dalam strategi pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia.
Namun, pengaturan dan sistem hukum yang ada saat ini masih mengalami kekurangan dalam hal pemulihan aset secara cepat, efektif, dan lintas yurisdiksi. Ketergantungan terhadap putusan pidana, keterbatasan teknologi pelacakan, dan tumpang tindih kewenangan lembaga penegak hukum menjadi hambatan utama yang perlu ditangani.
“Setiap kasus korupsi harus ada mekanisme penghitungannya. Misalnya, kasus kerugian asuransi jiwasraya pihak badan pemulihan aset harus menghitung total aset terdakwa korupsi dan mekanisme pelelangan hingga pengembalian kepada negara juga harus akurat sehingga tidak terjadi kerugian,” kata Rano Alfath dalam Rapat Kerja dengan Badan Pemulihan Aset di Ruang Rapat Komisi III, Gedung DPR, Rabu (20/8/2025).
Menurutnya, total kerugian negara akibat korupsi terus meningkat setiap tahunnya, namun pemulihan aset melalui mekanisme yang ada masih jauh tertinggal dari tingkat kerugian korupsi dalam kurun waktu 2020–2024. Hal ini menunjukkan betapa timpangnya upaya pengembalian aset dibandingkan dengan nilai kerugian yang ditimbulkan.
“Pihak badan pemulihan aset juga harus koordinasi dengan Kemenkeu. Jangan sampai nilai aset korupsi yang dilelang tidak sesuai dengan penghitungan awal. Karena kita tahu kasus korupsi seperti jiwasraya total pengembalian asetnya masih 5 triliun dari total kerugian mencapai 16 triliun,” ungkapnya.
Politisi PKB ini menuturkan proses pelelangan aset seringkali berlangsung lama dan berliku, terutama jika pelaku melarikan diri atau menyembunyikan aset di luar negeri. Selain itu, keterbatasan teknologi dalam pelacakan aset juga menjadi tantangan signifikan. Banyak aset hasil kejahatan yang dipindahkan melalui berbagai saluran dan metode yang sulit dilacak.