Jakarta, JurnalBabel.com – Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng selama tiga bulan mulai April hingga Juni tahun ini, harus diikuti dengan langkah-langkah kongkrit untuk menyelesaikan krisis minyak goreng.
Anggota Komisi VI DPR Fraksi PKS, Amin Ak, mengatakan BLT memang dibutuhkan rakyat saat ini, namun mengendalikan dan menertibkan praktik mafia dalam tata niaga minyak goreng jauh lebih penting.
“Dilihat dari permukaan, dengan BLT pemerintah seakan memihak pada rakyat. Namun kesulitan rakyat timbul karena ketidaktegasan pemerintah menertibkan para pemain kartel minyak goreng. Rakyat dan negara dirugikan karena alokasi dana APBN pada ujungnya dinikmati kartel minyak goreng,” tegas Amin Ak dalam keterangan tertulisnya, Senin (5/4/2022).
Berdasarkan informasi, dana BLT Minyak Goreng ini diambil dari anggaran Bansos dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebagai dampak Covid-19. Dana ini difokuskan untuk menjaga daya beli masyarakat miskin akibat tekanan kenaikan harga sejumlah bahan pokok dan penanganan kemiskinan esktrem.
Namun karena tidak tegas terhadap mafia minyak goreng, maka dana yang seharusnya untuk penanggulangan kemiskinan sebagian tersedot untuk BLT minyak goreng. Padahal saat ini rakyat juga dihadapkan pada kenaikan sejumlah bahan pokok lainnya.
Untuk menyalurkan bantuan tunai minyak goreng Rp300.000 kepada 20,5 juta penerima BPNT dan PKH Kemensos dan 2,5 juta pelaku Usaha Mikro dan Kecil gorengan dibutuhkan dana sebesar Rp6,9 triliun.
“Padahal, jika presiden tegas menjalankan UU dengan mengendalikan dan menertibkan praktik kartel dan mafia minyak goreng, negara tidak perlu mengeluarkan subsidi tambahan untuk BLT minyak goreng,” beber Amin.
Lebih lanjut Ia mengatakan, selain subsidi minyak goreng, pemerintah harus tetap mempertahankan subsidi listrik, LPG, solar, dan bensin Pertalite. Subsidi tersebut sebagai konsekuensi tak terhindarkan agar ekonomi rakyat kecil tidak makin terpuruk setelah dihantam pandemi Covid-19.
Untuk menyelesaikan krisis minyak goreng Pemerintah seharusnya melaksanakan rekomendasi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
KPPU, dalam rekomendasi jangka pendek menyarankan agar pemerintah memperkuat pengendalian terhadap stok CPO sebagai tindak lanjut kebijakan Domestic Market Obligation-Domestic Price Obligation (DMO-DPO).
KPPU menyarankan pelacakan dan pengecekan stok di tingkat produsen dan distributor melalui sistem informasi pasar yang terbuka. Dalam pelaksanaannya, pengawasan ini harus dikembangkan pemerintah melalui sistem teknologi digital Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (SIMIRAH).
Sedangkan untuk jangka menengah dan panjang, KPPU merekomendasikan pemerintah untuk segera menyediakan insentif untuk mendorong hadirnya produsen baru minyak goreng skala kecil dan menengah (UKM) yang mendekati lokasi perkebunan sawit.
Hal itu terutama dilakukan di wilayah yang tidak terdapat produsen minyak goreng. Sehingga pasokan minyak goreng di daerah tersebut tetap terjaga.
“Ini kan aneh, ada rekomendasi yang bagus dan pemerintah mempunyai semua instrumen untuk mengatur dan mengendalikan tata niaga minyak goreng agar tidak dikuasai kartel tapi Pemerintah tidak meresponnya,” pungkasnya. (Bie)