Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak, mendesak pemerintah untuk bijak dalam mengelola sumber daya alam (SDA) termasuk nikel.
Wakil rakyat dari Dapil Jatim IV itu melihat setidaknya ada tiga potensi ekses atau eksternalitas yang timbul seiring dengan eksploitasi nikel berlebihan.
Persoalan pertama, eksploitasi nikel besar-besaran saat ini sangat mengkhawatirkan karena akan menyebabkan cadangan nikel Indonesia cepat habis. Hal itu jelas berdampak buruk pada aspek keberlanjutan program pembangunan berbasis SDA, terutama di daerah penghasil nikel.
Sebagaimana diketahui, hilirisasi yang dilakukan saat ini belum dibarengi dengan industrialisasi berbasis nikel di dalam negeri. Tanpa kesiapan ekosistem industrialisasi di dalam negeri, yang terjadi adalah ekstraksi sumber daya tambang besar-besaran untuk mengejar pertumbuhan ekspor produk olahan smelter.
“Jika dibarengi industrialisasi, produk smelter itu dijadikan bahan baku industri berbasis nikel seperti baterai maupun industri stainless steel, nilai tambahnya bisa 10 kali,” kata Amin dalam keterangan tertulisnya, Rabu (30/8/2023).
Artinya, apabila Pemerintah mengembangkan industri berbasis nikel, bukan hanya sekedar hilirisasi smelter, untuk mendapatkan nilai ekspor Rp500 triliun, Indonesia hanya perlu mengeruk 160 ribu ton nikel per tahun.
Sebaliknya, laju ekstraksi nikel yang menembus 1,6 juta metrik ton per tahun, sangat mengkhawatirkan dari sisi ketahanan energi maupun ketahanan industri berbasis nikel.
“Saya minta Presiden Jokowi mengadopsi kerangka kerja neraca sumber daya alam yang ditetapkan PBB, dalam kebijakan pembangunannya. Tanpa neraca SDA cadangan nikel kita bakal cepat habis,” ujar Amin.
Persoalan kedua yang timbul dari esktraksi SDA tanpa memasukan kerangka neraca SDA, adalah potensi munculnya konflik sosial di masa depan. Hal itu akibat ketiadaan “horizontal wealth effect”, karena perusahaan nasional maupun lokal tidak memperoleh manfaat signifikan dari hilirisasi nikel.
Manfaat terbesar dari ekstraksi SDA hanya dinikmati perusahaan asing bermodal besar. Tak heran yang terjadi adalah angka pertumbuhan ekonomi daerah diklaim tinggi, tapi angka kemiskinan justru malah bertambah. Belum lagi serapan tenaga kerja yang ada jauh panggang dari api dibanding apa yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah.
Ini yang kita kenal dengan fenomena “resource curse” (kutukan sumber daya) yaitu masyarakat di daerah dengan sumber daya alam yang melimpah, justru hidup miskin atau tidak sejahtera.
“Pemerintah harus menyiapkan daerah agar mampu mengembangkan ekonomi daerah berbasis sumber daya alam. Termasuk dengan membangun ekosistem industri di daerah,” tegas Amin.
Persoalan ketiga yang juga menjadi bom waktu adalah degradasi atau kerusakan lingkungan akibat kegagalan memperhitungkan penggunaan SDA secara tepat. Deforestasi, penghancuran habitat, dan polusi, hingga kerusakan ekosistem dan keanekaragaman hayati menjadi beban masa depan yang menghantui generasi mendatang.
“Kita harus memikirkan nasib generasi mendatang. Hilirisasi bagus, namun harus dibarengi kesiapan industrialisasi dan penguatan ekosistem industri lokal. Jangan kemudian jor-joran mengeksploitasi SDA tanpa memikirkan keberlanjutan pembangunan,” pungkasnya.
(Bie)