Jakarta, JurnalBabel.com – Dalam Rapat Kerja dengan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia (BI) dalam rangka menindaklanjuti Surat Menteri Keuangan terkait Perkembangan Skema Burden Sharing (berbagi beban) Pembiayaan PEN di Jakarta, Senin (6/7/2020), Anggota Komisi XI DPR Anis Byarwati meminta klarifikasi dan konfirmasi mengenai beberapa hal kepada Menkeu dan Gubernur BI.
Hal pertama yang disampaikan politisi senior dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini tentang kebijakan BI melalui quantitative easing dengan penambahan likuiditas perbankan yang mencapai Rp 614,8 triliun. Menurut Anis, di lapangan hal ini dinilai belum efektif karena likuiditas tersebut kembali lagi ke pemerintah atau dengan kata lain tidak tersalurkan ke sektor riil.
Kemudian lanjut Anis, dengan penurunan BI7DRR sebesar 75 bps, juga tidak bertranmisi secara optimal pada suku bunga kredit perbankan. “Bagaimana pandangan Bank Indonesia terkait dengan hal ini?,” tanya Anis.
Legislator dari daerah pemilihan DKI Jakarta ini menggaris bawahi beban BI yang jauh lebih besar dari beban pemerintah dalam skema burden sharing. Selain dari operasi moneter melalui quantitative easing yang sesuai dengan skema burden sharing, dimana BI menanggung beban Covid-19 untuk public good sebesar Rp 397,60 triliun.
BI juga akan menanggung beban bunga hutang sebesar Rp 35,9 triliun serta ditambah remunerasi sebesar Rp 1,1 triliun, sehingga sharing beban bunga BI sebesar Rp 37,0 triliun atau 54,8% dari total beban bunga sebesar 67,6%. Ini berarti beban bunga yang ditanggung BI jauh lebih besar dari yang ditanggung pemerintah.
“Bagaimana pendapat BI terkait analisis skema burden sharing yang memberikan beban kepada BI jauh lebih besar dibanding beban pemerintah atas bunga hutang?,” katanya.
Selain itu, Anggota Badan Legislasi DPR ini mendorong agar BI memiliki skema alternatif burden sharing yang efekktif dan terukur. “Yang resikonya di luar dari skema-skema yang telah menjadi pembahasan dengan Menteri Keuangan” ungkapnya.
Sebagai informasi, meningkatkan defisit yang sangat besar untuk penanganan Covid-19, membuat pemerintah melakukan burden sharing bersama BI. Dalam Perpres 72 Tahun 2020, pemerintah menargetkan defisit anggaran Rp1.039,2 triliun atau 6,34 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sehingga ada tambahan defisit Rp732 triliun dari semula dalam APBN 2020 yang sebesar Rp307,2 triliun.
Untuk menutup defisit tersebut, pemerintah memerlukan pembiayaan utang sebesar Rp903,46 triliun. Bunga inilah yang akan ditanggung bersama antara pemerintah dan BI. Dari angka tersebut pembiayaan yang bersifat public goods seperti kesehatan, perlindungan sosial, sektoral, kementerian lembaga, dan pemda sebesar Rp397,6 triliun. Sementara yang bersifat non public goods seperti UMKM, korporasi non UMKM, dan lainnya senilai Rp505,86 triliun.
Adapun skema burden sharing yang disepakati dibagi atas empat kelompok. Kelompok pertama, public goods, bunganya akan 100% ditanggung BI. Kedua, kelompok non-public goods untuk UMKM beban bunganya akan ditanggung pemerintah menggunakan BI reverse repo rate dikurangi diskon 1%.
Skema ketiga ialah kelompok non-public goods korporasi non UMKM, beban bunganya akan ditanggung pemerintah menggunakan BI reverse repo rate. Selanjutnya, skema terakhir ialah non-public goods lainnya akan ditanggung beban bunganya 100% oleh pemerintah. (Bie)
Editor: Bobby