Jakarta, JurnalBabel.com – Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menilai diskon putusan Kasasi Hakim Mahkamah Agung (MA) kepada Edhy Prabowo selaku mantan Menteri Kelautan dan Perikanan dari sembilan tahun menjadi lima tahun, menambah catatan buruk dalam sejarah penegakan hukum korupsi di Indonesia.
“Putusan majelis hakim dalam perkara ini sangat kering dalam pertimbangan hukumnya yang dijadikan alasan terkait pemotongan lamanya masa hukuman,” kata Azmi kepada wartawan, Jumat (11/03/2022).
Menurutnya, putusan Hakim menyangkut pertimbangan hukumnya telah menyimpang, keluar dari aspek pertimbangan hukum, sepanjang hakim dalam putusan ini telah masuk keranah penilaian kinerja jabatan seorang Menteri.
Hal tersebut, kata Azmi, bukanlah wewenang hakim tingkat kasasi apalagi menjadikan ukuran kinerja diambil menjadi pertimbangan hukum.
“Ini suatu keganjilan dalam praktek hukum terkait putusan Hakim MA, dimana pertimbangannya memberikan penilaan tentang kinerja seorang mantan Menteri Kelautan. Hakim sudah melampaui wewenangnya, karena yang berwenang menilai kinerja seorang Menteri bukanlah majelis hakim Kasasi,” jelasnya.
Azmi pun menilai, Majelis hakim sudah abai terhadap bahaya kejahatan korupsi, apalagi kasus ini telah menjadi perhatian publik. Hakim MA tidak lagi memperhatikan hal-hal yang memberatkan atas perbuatan pelaku dan fakta hukum materilnya.
“Di mana pelaku mendapatkan fee dari izin ekspor tersebut dari perusahaan perusahaan yang “lulus” seleksi sebagai eksportir dimana panitia seleksi adalah orang orang terdekat terdakwa, termasuk pula pelaku terbukti menyalahgunakan kewajiban dari jabatannya semestinya menjadi alasan pemberatan hukuman bukan malah di diskon dari 9 tahun menjadi 5 tahun,” paparnya.
Tak hanya itu, Ketua Asosiasi ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) ini juga menilai, seolah-olah putusan Hakim itu juga tidak netral, salah memahami wewenang kasasi. Hakim nyata sudah melampaui wewenangnya, lari dari makna kemerdekaan hakim yang tidak boleh diartikan sebebas-bebasnya oleh hakim.
“Ini namanya Hakim bersembunyi di balik kewenangan bahwa putusan penilaian hakim menjadi independensi kehakiman dan mengaburkan asas kepatutan, dan rasa keadilan masyarakat
sehingga putusan majelis hakim tingkat kasasi ini bertentangan dengan Pasal 253 ayat 1 KUHAP,” ungkapnya.
“Karenanya Putusan ini didorong untuk dilakukan eksaminasi khusus maupun eksaminasi publik,” pungkasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung memutuskan untuk mengurangi hukuman pidana penjara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjadi 5 tahun penjara dari yang sebelumnya 9 tahun.
“Memperbaiki putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengenai pidana yang dilakukan kepada terdakwa dan lamanya pidana tambahan menjadi: Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan penjara selama 5 tahun dengan pidana dena sebesar Rp400 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” kata juru bicara MA Andi Samsan Nganro di Jakarta, Rabu (9/3/2022).
Putusan kasasi tersebut diputuskan pada 7 Maret 2022 oleh majelis kasasi yang terdiri dari Sofyan Sitompul selaku ketua majelis, Gazalba Saleh dan Sinintha Yuliansih Sibarani masing-masing selaku anggota.
“Menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 2 tahun terhitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok,” ungkap Andi.
Terdapat sejumlah hal yang menjadi pertimbangan majelis kasasi sehingga mengurangi vonis Edhy Prabowo tersebut.
“Bahwa putusan Pengadilan Tinggi yang mengubah putusan Pengadilan Negeri kurang mempertimbangkan keadaan yang meringankan terdakwa sehingga perlu diperbaiki dengan alasan bahwa pada faktanya terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya nelayan,” demikian disebutkan hakim.
Menurut hakim, Edhy Prabowo mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Permen Kelautan dan Perikanan No 12/PERMEN-KP/2020.
(Bie)