Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Komisi III DPR, Santoso, menyoroti maraknya hukuman koruptor di diskon seperti yang terjadi baru-baru ini di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dimana kasus Jaksa Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun dan kasus Djoko Tjandra yang di diskon dari 4,5 tahun menjadi 3,5 tahun.
Santoso menilai dari kedua kasus tersebut bahwa penegakan hukum di Indonesia kalah dengan negara-negara kuno masa lalu. Pada masa lalu, meskipun perangkat hukumnya belum selengkap saat ini, kata dia, namun penerapannya dalam menciptakan keadilan bagi rakyat dijunjung tinggi oleh para penegak hukum di masa itu. Termasuk di dalamnya oleh para hakim.
“Meskipun di masa itu hukum lebih condong berpihak kepada penguasa, tapi jika bicara keadilan para penguasa saat itu akan memperjuangkannya meskipun harus berperang dengan negara lain,” kata Santoso dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (31/7/2021).
Lebih lanjut legislator asal DKI Jakarta ini menjelaskan hakim dalam melaksanakan tugasnya dilindungi oleh Undang-Undang (UU) dalam posisi bebas merdeka, tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun.
“Keberadaan yang bebas merdeka itu haruslah di posisikan dalam hal penegakan hukum yang sebenar-benarnya. Bukan pada keberpihakan kepada yang ingin memenangkan perkaranya dengan cara-cara yang menyimpang,” jelasnya.
“Dalam memutuskan suatu perkara pun hakim haruslah memperhatikan perasaan dan nurani masyarakat jika kasus itu berhubungan dengan kepentingan publik (korupsi salah satunya),” tambahnya.
Santoso menyontohkan pada kasus pencuri ayam. Jika dia mencuri karena benar-benar lapar dan untuk makan keluarganya, hakim dalam memutuskan perkara itu akan melihat latar belakang kenapa pelaku melakukan itu.
Contoh lainnya kata Santoso dalam kasus Asabri. Hakim harusnya menilai lebih dalam para pelakunya yang melakukan kejahatan secara sengaja dan merugikan negara triliunan rupiah, seharusnya dihukum seberat-beratnya.
“Bukan malah meringankan hukuman yang diputus sebelumnya. Persepsi publik bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas memang saat ini terbukti,” ujarnya.
Sebab itu, politisi Partai Demokrat ini berharap Komisi Yudisial dapat melakukan investigasi atas keputusan yang diambil oleh para hakim. Baik pada kasus Pinangki maupun Djoko Tjandra. Pasalnya, Indonesia sebagai negara hukum, pengadilan adalah pintu terakhir untuk mencapai keadilan bagi orang perorang dan publik.
“Para hakim yang memiliki otoritas dalam memutus perkara agar tidak mencederai putusannya kepada rakyat. Pencapaian keadilan itu diputus oleh palu hakim yang akan dipertanggung jawabkan di pengadilan akhirat kelak,” pungkasnya. (Bie)