Oleh: Martin da Silva, Pr
KEKERASAN seksual yang dialami salah satu siswi SMP di Bangka Selatan sebagimana diberitakan Bangka Pos pada Senin 1 Agustus 2022 sangat menyedihkan dan mencederai dunia pendidikan.
Di saat pemerintah sedang mengupayakan pemulihan pendidikan karena covid-19, pada saat bersamaan sekolah menyajikan matinya kemanusiaan dan degradasi moral peserta didik yang teramat menyedihkan. Ibarat kata, air susu dibalas dengan air tuba. Pemerintah menyajikan secangkir susu namun sekolah membalas dengan sebaskom air tuba.
Diberitakan bahwa peristiwa tragis itu, terjadi pada Kamis, 28/7/2022 lalu. Waktu itu korban hendak pulang dari sekolah sekira pukul 14.00 WIB. Korban yang berdiri di depan ruang perpustakaan dihampiri tiga temannya. Ketiganya pun segera menarik dan membawa korban ke hutan belakang sekolah. Sesampai di belakang sekolah, empat orang pelaku lainnya sudah menunggu. Korban pun berteriak namun tak satu orang pun yang mendengar. Korban sempat memberikan perlawanan dengan memberontak dan menendang pelaku namun tidak berdaya.
Ketujuh pelaku tersebut lekas diproses secara hukum sebab melanggar Undang-undang tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur. Sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 82 ayat (1) atau ayat (2) no 17 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang nomor 23 tahun 2022 tentang perlindungan anak.
Terlepas dari pelanggaran yang terjadi, satu unsur penting dalam kasus ini, bagaimana membangkitkan mental korban agar berangsur-angsur pulih untuk kembali mengejar apa yang ia impikan dalam pendidikan. Korban mengalami trauma yang mendalam. Tentu tidak mudah memulihkan mentalnya. Tidak semudah memberi efek jera kepada pelaku cabul.
Begitu banyak orang prihatin ihwal peristiwa ini. Luna Febriani, Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung (UBB) mengungkapkan, kekerasan seksual kepada anak di bawah umur di Bangka Selatan tidak dapat dituntaskan dan diberhentikan hanya dengan menghukum pelaku kekerasan seksual itu sendiri. Karena itu lembaga yang harus bertanggung jawab dan mengambil peran sehingga kasus seksual seperti ini tidak terulang (Bangka Pos, 1/8/22).
Sekolah tentu menjadi salah satu lembaga yang bertanggung jawab. Informasi ini menggambarkan matinya kemanusiaan di antara para peserta didik.
Matinya Kemanusiaan
Manusia semestinya saling mendukung dan melengkapi sebab dianugerahi sebagai homo socialis yang berakal budi. Akan tetapi, adegan dipertontonkan ketujuh pelaku kekerasan seksual itu, menggambarkan intuisi dan naluri kemanusiaan yang sesungguhnya telah mati. Mengapa telah mati? Karena dengan sadar, meniadakan Tuhan. Seolah-olah mereka telah membunuh Tuhan saat hidup bersama peserta didik lain sehingga mudah dipengaruhi kekuatan lain, di luar diri mereka. Mereka seakan-akan telah membunuh Tuhan sebagaimana adagium yang dipopulerkan Friedrich Nietzsche Gott ist tot (Tuhan sudah mati) pada abad ke-19.
Kekuatan lain yang mempengaruhi mereka tersebut, mampu mengantar mereka melanggar nilai-nilai kemanusiaan yang dirumuskan begitu indah dalam sila ke-2 pancasila “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dalam sila ke-2 ini jelas termaktub hak dan kewajiban asasi manusia dalam nilai-nilai pancasila.
Menempatkan hak setiap warga negara pada kedudukan yang sama di muka hukum dan memandu warga negara menjunjung tinggi harkat dan martabat sesama manusia.
Ketujuh pelaku itu, melanggar hak dan kewajiban asasi mereka dan korban. Mereka dengan sengaja memberangus hukum yang menjerat di depan mata dan mengamputasi nilai-nilai pancasila yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Kemanusiaan dalam diri ketujuh pelaku tersebut telah mati. Hati nurani mereka mati.
Mereka barbar, ‘fasis’, diskriminatif, brutal dan banal sehingga martabat korban diinjak-injak dan dinistakan. Mereka tidak beradab, tentu jauh dari akhlak mulia. Tidak sehat, tidak cakap dan tidak mencerminkan keyakinan agama masing-masing.
Degradasi Moral
Kasus pelecehan seksual ini membuktikan kegagalan pendidikan yang mengagung-agungkan intelektual ketimbang pengembangan karakter yang baik. Sehingga, menggambarkan adanya degradasi moral pendidikan di Provinsi Bangka Belitung, khususnya Bangka Selatan.
Pemerintah daerah perlu meninjau dan menelaah pelecehan seksual ini lebih jeli dan serius. Sangat perlu lagi menambah barisan kekuatan untuk mempromosikan strategi-strategi implementasi pendidikan karakter yang baik di sekolah-sekolah.
Karakter yang baik merupakan sikap habitus diinginkan semua pendidik dan peserta didik. Menurut Thomas Lickona, karakter yang baik memiliki tiga bagian yang tidak bisa dipisahkan, yaitu pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral. Ketiga bagian tersebut saling terkait satu dengan yang lain. Nampaknya cukup sederhana untuk diintegrasikan dalam diri peserta didik namun tidak semua sekolah memberi perhatian serius untuk tiga syarat karakter yang baik itu.
Ketujuh pelaku itu boleh jadi belum memahami dengan baik dan benar tentang karakter yang baik. Bisa jadi mereka telah mengetahuinya namun karena kondisi psikologis, lingkungan, dan pendidikan yang minim mereka tidak wujudkan dalam hidup. Mereka sengaja tidak mengetahui hal yang baik, tidak menginginkan hal yang baik dan tentu tidak melakukan hal yang baik. Kedangkalan cara pikir mereka ini sangat disayangkan. Kemanusiaan mereka telah mati. Mereka pun layak mendapatkan sanksi yang membuat jerah.
DARVO
Banyak orang tentu berempati dengan kondisi korban sehingga selalu memantau perkembangan kasus ini. Maka, perlu kebijakan antisipatif dan kewaspadaan dari pemerintah daerah. Salah satu fenomena yang layak diantisipasi adalah taktik manipulatif ketujuh pelaku tersebut.
Sebab, biasanya pelaku menunjukan penolakan atau penyanggahan atas kesaksian korban. Selanjutnya, pelaku dan pendukungnya mendiskreditkan korban dan berusaha membalikan fakta bahwa korban yang memicu terjadinya pelecehan seksual itu.
Pelaku bisa saja berusaha memanipulasi pikiran korban dan publik seolah-olah merekalah yang menjadi korban sehingga tidak merasa bersalah. Taktik manipulatif ini oleh Jennifer Joy Freyd disebut DARVO, akronim dari deny (menyangkal), attack (menyerang), dan reverse the victim and offender (mengembalikan posisi korban dan pelaku). Taktik ini semakin mudah ditemukan dalam masyarakat yang menjadikan kredibilitas korban sebagai tolak ukur kebenaran.
Sex Respect
Selain pemerintah daerah, sekolah punya tanggung jawab yang lebih terhadap kasus ini sebab terjadi di lingkungan sekolah. Beragam pertanyaan bisa saja lahir, dimanakah fungsi pengawasan sekolah? Dimana para pendidiknya? Seperti apa mental dan karakter dari pelaku dan korban? Bagaimana dengan orang tua korban dan pelaku?
Pertanyaan-pertanyaan ini pasti menghujam nurani para tenaga pendidik di sekolah. Oleh karena itu, saatnya sekolah berpikir serius mengantisipasi kasus-kasus lain yang terjadi. Sekolah hendak punya metode khusus untuk menanamkan nilai-nilai kepada peserta didik agar memiliki kesucian dan mempromosikan gaya hidup yang positif. Barangkali sekolah boleh mendesain satu kurikulum yang berkaitan dengan pendidikan seks.
Coleen Kelly Mast, seorang guru sekolah menengah di Bradley, Illinois, dengan bantuan hibah dari lembaga federal Office of Adolescent Pregnancy Programs mengembangkan kurikulum pendidikan seks yang dikenal dengan sex respect. Program ini sekarang digunakan oleh sebagian besar sekolah di negara bagian yang bersangkutan. Target dari kurikulum ini adalah mendorong peserta didik untuk memilih kesucian sebagai gaya hidup positif, gaya hidup yang memberikan kebebasan untuk bertumbuh tanpa tekanan seks kepada peserta didik.
Kurikulum Sex Respect menggunakan slogan yang bersifat humor untuk menyampaikan pesannya. Misalnya, “peliharalah anjing Anda, bukan teman kencan Anda”; Seks itu baik; seks itu hebat, simpanlah untuk pasangan seumur hidup Anda.”
Kurikulum bisa diterapkan pada peserta didik di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Salah satu aktivitas dalam kurikulum seks respect adalah; brainstorming. Artinya, peserta didik menulis daftar hal-hal yang asyik dan menyenangkan untuk dilakukan dan tidak mengarah ke aktivitas seksual ketika berkencan.
Ekstra dan Mesra
Kekerasan seksual yang dialami siswi SMP di Bangka Selatan sangat menyedihkan dan mencederai dunia pendidikan, khususnya di Kabupaten Bangka Selatan. Butuh kerja sama ekstra dan mesra antara tenaga-tenaga pendidik di sekolah dengan pemegang kebijakan di pemerintah daerah dan provinsi. Sebab kasus kekerasan seksual itu menggambarkan matinya kemanusiaan dan degradasi moral peserta didik.
Pemerintah Bangka Selatan wajib serius menangani kasus kekerasan seksual tersebut sampai tuntas. Jangan sampai kasusnya pelan-pelan lenyap karena pelaku menciptakan skenario sebagai korban. Pihak sekolah pun boleh mendesain kurikulum khusus untuk menanamkan penghargaan positif kepada sesama peserta didik. Sehingga, peserta didik terbiasa dengan sex respect.