Oleh: Dr. Muhammad Rullyandi, SH., MH (Pakar Hukum Tata negara)
Mencermati dinamika perdebatan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam ranah pelanggaran etik yang sedang berproses di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terhadap putusan yang mengabulkan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), belum terpenuhi adanya pelanggaran etik terhadap Ketua MK Anwar Usman. Dalam arti putusan MK tersebut masih dalam koridor terjaganya marwah independesi dan kewenangan MK.
Hal ini menyangkut adanya perdebatan dalam Putusan MK dengan menambah rumusan norma baru yang sejatinya adalah sah dalam ranah kewenangan MK, karena keberadaan MK dimaksudkan sebagai lembaga the guardian of constitution yang memiliki karakteristik yang berbeda dalam sistem kekuasaan kehakiman pada umumnya.
Karena itu, putusan MK terhadap pengujian suatu norma Undang-Undang yang bersifat abstrak, tidak dikenal dengan sistem pengujian mengadili suatu fakta hukum atau adanya kepentingan sengketa hukum para pihak yang lazim ditemukan dalam sistem peradilan umum. Itu sebabnya Putusan MK dalam pengujian norma suatu Undang-Undang bersifat final dan wajib mengikat kepada semua warga negara, badan hukum, organ negara, instansi dan pemerintah termasuk presiden.
Disamping itu, MK dalam hukum acara dan praktek pengujian Undang-Undang, dibenarkan tidak hanya menyatakan adanya pertentangan terhadap konstitusi UUD, namun dalam batas penalaran yang wajar, MK juga dapat menguji suatu norma Undang-Undang yang sifatnya memerlukan penafsiran keadaan konstitusional bersyarat untuk menjamin hak konstitusional sebagai norma hukum tertinggi di dalam konstitusi UUD, yang melahirkan Putusan MK dengan berdampak pada amar putusan yang memuat suatu diktum adanya rumusan norma hukum baru.
Dalam kaitan Putusan MK yang mengabulkan tentang batas usia capres dan cawapres tidak dapat dihubungkan adanya dugaan konflik kepentingan dengan Ketua MK Anwar Usman yang merupakan keluarga Presiden Jokowi. Karena objek yang diadili MK adalah suatu norma hukum yang bersifat abstrak yang pada hakekatnya maksud dibentuknya norma tersebut, semata-mata merupakan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil sebagai hak konstitusional. Bukan untuk di khususkan terhadap kepentingan 1 (satu) orang saja, tetapi merupakan hak setiap warga negara yang hendak mencalonkan diri menjadi calon presiden atau wakil presiden.
Sehingga lahirnya Putusan MK tersebut perlu dicermati pada bagian pertimbangan hukum yang menerima permohonan dengan mengabulkan, namun tidak ditemukan adanya kalimat intervensi diantara hakim yang mayoritas menerima mengabulkan dalam amar putusan, sehingga prinsip independensi hakim MK masih terjaga murni dalam bingkai kekuasaan kehakiman yang merdeka.