Jakarta, JurnalBabel.com – Tindakan Polda Metro Jaya pada Jumat (3/4/2020), menangkap 18 orang yang berkumpul di malam hari di kawasan Bendungan Hilir dan Sabang Jakarta Pusat, mendapatkan kritikan. Padahal, pemerintah sudah menetapkan kondisi darurat akibat wabah virus corona atau Covid-19. Polisi sudah tiga kali menegur mereka namun tak menggubris sehingga terpaksa diamankan kepolisian.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan mereka diduga melanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Pasal 93 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan/atau Pasal 218 KUHP.
Terbaru, Kapolri Jenderal Pol. Idham Azis menerbitkan Surat Telegram Kapolri mengenai pedoman pelaksanaan tugas fungsi reskrim terkait dengan kejahatan yang terjadi di ruang siber dan penegakan hukum tindak pidana siber selama masa wabah Covid-19.
Dalam Surat Telegram nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tertanggal 4 April 2020 itu disebutkan beberapa jenis pelanggaran atau kejahatan serta masalah yang mungkin terjadi selama masa darurat.
Di antaranya yakni tentang ketahanan akses data internet, penyebaran hoaks terkait dengan Covid-19, dan penyebaran hoaks terkait dengan kebijakan pemerintah, penghinaan kepada presiden dan pejabat pemerintah, penipuan penjualan produk kesehatan, dan kejahatan orang yang tidak mematuhi protokol karantina kesehatan.
Kini timbul pertanyaan apakah tindakan yang diambil pihak Kepolisian tersebut perlu dilakukan atau tidak? Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Rahmat Muhajirin dan ahli hukum pidana Suparji Achmad saat dihubungi di Jakarta, Senin (6/4/2020), akan menjawabnya.
Rahmat Muhajirin tidak mempermasalahkan tindakan yang diambil pihak Kepolisian apabila ada dasar hukumnya. Namun ia melihat belum ada urgensinya karena bicara pencegahan Covid-19 maka yang jelas masyarakat sudah gelisah. Setiap hari mereka dipertontonkan angka-angka orang dalam pengawasan atau ODP, meninggal dunia, terus meningkat. Apalagi hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, di negara luar juga demikian.
“Seharusnya Kapolri sebelum mengeluarkan aturan dilihat dulu masalahnya secara konferensif. Di negara kita ini penyelenggaraan hukum juga belum dilakukan dengan benar. Apalagi UU kita banyak,” kata Rahmad Mujahirin.
Legislator dari daerah pemilihan Jawa Timur I (Surabaya, Sidoarjo) ini juga menilai pemerintah tidak tanggap atas mewabahnya Covid-19. Padahal pada akhir tahun lalu, pemerintah sudah mengetahui Covid-19 di berbagai negara. Justru baru-baru ini pemerintah mengambil langkah-langkah instan. Salah satunya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Stabilitas Perekonomian di masa pandemi Covid-19.
Perppu tersebut menjadi dasar hukum bagi pemerintah menggelontorkan anggaran penanganan Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun dari APBN 2020. Selanjutnya pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini menyesalkan pemerintah mengeluarkan regulasi tersebut. Pasalnya, sebut dia, untuk menghadapi wabah sudah ada tiga UU yang mengaturnya. Yakni UU Wabah Penyakit, UU Kekarantinaan Kesehatan dan UU Penanggulangan Bencana. Ketiga UU ini katanya belum dilaksanakan dengan benar. Pada akhirnya masyarakat selalu dibentur-benturkan dengan polisi apabila ada masalah.
“Seharusnya kegelisahan rakyat ini di obati. Tiga UU saja belum dilaksanakan, kenapa cari terobosan peraturan lain,” ujarnya menyesalkan.
Lebih lanjut Purnawirawan TNI AL ini menjelaskan bahwa pembubaran keramaian itu di atur dalam Pasal 218 KUHP yang berbunyi “Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp 9.000.”
Namun ia meminta kepolisian harus mengetahui riwayat pasal tersebut di keluarkan. Ia juga meminta Polri tidak sepotong-potong membaca pasal itu karena harus juga dilihat dari kondisi yang sedang di hadapi masyarakat secara menyeluruh.
“Seharusnya Kapolri sebagai aparat pemerintah itu humanis. Tapi tidak bisa sepotong-potong lihat pasal, tidak akan menyelesaikan masalah. Malah semakin tambah masalah,” jelasnya.
Pria kelahiran Jember ini juga mengingatkan bahwa Polri satu-satunya lembaga yang fungsinya menjaga keamanan dan ketertiban. Sebab itu, Rahmat berpandangan apabila masyarakat diminta untuk tidak keluar rumah dan sudah dijamin kebutuhannya oleh pemerintah, namun masih berkerumun maka polisi bisa mengambil tindakan tegas.
“Kalau sudah dirumah, dikasih bantuan lalu tetap masih berkerumun, digebuk sama polisi itu boleh. Lah ini point satunya belum dilaksanakan. Jadi tidak bisa sewenang-wenang Polisi menangkap orang berkerumun,” tegasnya.
Sangat Kontradiktif
Suparji Achmad berpendapat penangkapan orang berkerumum oleh Polisi merupakan langkah progresif untuk membuat warga tetap berada di rumah dalam rangka mencegah penyebaran Covid-19. Sebab itu, lanjut dia, sangat kontradiktif jika hanya karena berkerumun ditetapkan jadi tersangka, apalagi sampai ditahan.
“Apalagi sekarang yang sudah jadi napi saja kan dibebaskan karena banyak over capacity,” kata Suparji Achmad.
Suparji menegaskan Polisi tidak perlu menetapkan orang berkerumun sebagai tersangka. Cukup diberi peringatan supaya kembali ke rumah masing-masing. Selain itu juga harus dipertimbangkan kalau pidana itu ultimum remidium.
Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini mengakui semua pihak punya komitmen mencegah penyebaran Covid-19, tetapi tidak harus mempidanakan karena pemidanaan orang berkerumun bisa berpotensi terjadi kegaduhan.
“Lebih baik persuasif supaya warga taat tinggal di rumah,” katanya mengakhiri. (Bie)
Editor: Bobby