Jakarta, JurnalBabel.com – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 270 daerah tahun ini sebentar lagi akan digelar pada 9 Desember. Muncul usulan dari anggota DPR bahwa apabila anggota dewan (DPR, DPD, DPRD) maju Pilkada tidak perlu mundur dari jabatannya.
Sebab, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang mewajibkan mundurnya anggota DPR, DPD, dan DPRD ketika mencalonkan diri dalam Pilkada dinilai begitu kontras bilamana dibandingkan dengan Putusan MK Nomor 17/PUU-VI/2008 yang menjadikan petahana Kepala Daerah tidak perlu mundur ketika mencalonkan diri dalam Pilkada dan cukup cuti saja.
Hal itu dipaparkan Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan saat mewakili Tim Kuasa DPR RI memberikan keterangan untuk Perkara MK Nomor 22/PUU-XVIII/2020 mengenai pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU (UU Nomor 10 Tahun 2016) terhadap UUD NRI 1945, di Gedung MK, Jakarta, Rabu (12/8/2020).
Anggota Komisi II DPR, Sukamto, menyatakan MK dalam membuat putusan pasti berdasarkan konstitusi. Namun ia tidak sependapat dengan aturan anggota dewan maju menjadi kepala daerah harus mundur dari jabatannya. Pasalnya, ia membandingkan dengan kepala daerah petahana cukup cuti bila maju Pilkada.
“Kalau saya kalau kepala daerah petahana tidak mundur cukup cuti, kenapa dewan mundur. Kalau disuruh pilih mending tidak mundur. Meskipun kalau saya milih Bupati/Walikota mending saya pilih DPR. Lebih leluasa berbicara, mengatur negara, menjadi anggota DPR. Kalau sekupnya kami ingin menjadi kepala daerah, itu tinggal bagaimana niatnya,” kata Sukamto saat dihubungi, Kamis (13/8/2020).
Menurut politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), berbicara materi antara anggota dewan dengan kepala daerah, lebih besar dibandingkan kepala daerah. “Kalau kita bicara uang, lebih banyak Bupatinya,” ungkapnya.
Lebih lanjut Sukamto mengatakan sebenarnya mudah bagi anggota DPR untuk memuluskan hal itu.
“Anggota dewan untuk mengatur tidak perlu mundur mudah saja aturan buat kita. Kita rubah saja aturannya, tapi itu perlu diperhitungkan manfaat dan mudarotnya,” jelasnya.
Legislator asal Yogyakarta ini secara pribadi lebih memberikan kesempatan pada anggota dewan bila maju Pilkada tidak perlu mundur dari jabatannya. “Itu pilihan pribadi, tapi semuanya harus ada dasar hukumnya,” ujarnya.
Berpengalaman dan Berkualitas
Dihubungi terpisah, Anggota Komisi II DPR Syamsurizal menyatakan banyak aspek yang perlu dilihat dari usulan ini. Dari sisi positif, apabila anggota dewan tak perlu mundur maju Pilkada maka demokratisasi buka seluar-luasnya. Akibatnya masyarakat memiliki kepala daerah yang berpengalaman dan berkualitas.
“Karena mereka-mereka yang duduk di dewan itu kan pada umumnya berkualitas, punya pengalaman di pemerintahan, perpolitikan. Karena di DPR RI ini segala aspek dibahas walaupun kita dibagi 11 komisi, tetapi pada umumnya calon-calon itu bisa memahami separoh dari komisi yang ada di DPR,” kata Syamsurizal.
Ia mencontohkan dirinya yang juga merangkap sebagai anggota badan legislasi (Baleg) DPR.
“Seperti saya di Komisi II dan di Baleg, saya bisa bicara juga soal pembangunan jembatan, fasilitas kesehatan, keagamaan. Jadi pemahamannya lebih luas. Itu positifnya,” jelasnya.
Dari sisi negatifnya, Syamsurizal khawatir masyarakat tidak mendapatkan pemimpin daerah yang berpengalaman dan berkualitas. Hal itu bisa dibuktikan dengan banyaknya kepala daerah tersandung kasus hukum, baik itu korupsi, kekerasan seksual dan lainnya.
“Kalau diberi kebebasan bagi anggota dewan, calon-calon itu lebih variatif dan berpeluang mendapatkan calon yang banyak bagi masyarakat,” katanya.
Petahana Mundur
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini memberikan solusi atas usulan ini. Yakni kepala daerah petahana juga harus mundur dari jabatannya. Bukan seperti sekarang cukup mengajukan cuti. Apabila tidak terpilih maka petahanan tersebut bisa kembali menjadi kepala daerah. Dalam arti bisa melanjutkan hingga masa jabatannya habis.
“Saya pribadi lebih sepakat mundur semua,” katanya.
Mantan Bupati Bengkalis ini juga menilai diskriminatif apabila petahana saja yang tidak perlu mundur ikut Pilkada.
“Kalau orang yang incumbent saja, itu kan sedikit agak diskriminatif. Ini perlu kita hindari, sementara kita berkeinginan demokrasi yang substansial. Bukan hanya prosedural saja,” katanya.
Lebih lanjut legislator asal Riau ini mengungkapkan solusinya tersebut menjawab persoalan yang dikhawatirkan masyarakat adanya penggunaan fasilitas oleh petahana dari apa yang sudah disediakan pemerintah, itu bisa dihindari.
“Kita sarankan sama-sama mundur lah,” ujarnya.
Ia menambahkan usulannya tersebut tidak melanggar UU. Namun, bertentangan dengan putusan MK. “Tidak ada UU yang dilanggar, hanya menabrak putusan MK,” pungkasnya.
Sebelumnya, ketentuan mengenai syarat anggota DPR/DPD/DPRD mengundurkan diri sejak ditetapkan sebagai calon kepala daerah yang dimuat Undang-undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Penggugat adalah anggota DPR Anwar Hafid serta anggota DPRD Sumatera Barat Arkadius Dt. Intan Bano.
Keduanya menilai bahwa syarat pengunduran diri dalam Pasal 7 Ayat (2) UU tersebut bertentangan dengan asas kesamaan kedudukan warga negara yang diatur UUD 1945.
Penggugat membandingkan dengan calon petahana yang hanya wajib cuti saat kampanye ketika telah ditetapkan sebagai calon kepala daerah.
“Bahwa dalam konteks keadilan dalam pencalonan kepala daerah, jabatan anggota legislatif seyogianya dipersamakan dengan calon petahana (incumbent), yang potensi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaannya sangat besar, namun hanya diwajibkan untuk mengambil cuti di luar tanggungan negara pada saat kampanye,” bunyi petikan permohonan dikutip dari berkas permohonan perkara di laman resmi Mahkamah Konstitusi.
(Bie)