Jakarta, JurnalBabel.com – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Ledia Hanifa Amaliah mengingatkan komitmen pemerintah soal perlindungan kepada para Penyandang Disabilitas. Hal itu menyusul dibahasnya soal perizinan bangunan gedung berbagai ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung dihapus.
Dalam pembahasan itu, termasuk juga menghapus pasal 27 dan pasal 31 UU No 28 Tahun 2002 yang secara khusus memberikan kewajiban aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dan lansia.
“Dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, pemerintah wajib menyediakan aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas diantaranya dengan menyediakan sarana prasarana termasuk bangunan gedung yang ramah disabilitas,” kata Ledia dalam keterangan tertulis, Jumat (28/8/2020).
Ledia melanjutkan, ketika amanah dalam undang-undang ini mewajibkan aksesibilitas, namun dalam omnibus law hal justru dihapuskan. Menurut Ledia, hal itu bisa menghambat upaya perwujudan kesetaraan hak bagi para penyandang disabilitas.
Pasal 25 dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja memang mengubah beberapa ketentuan terkait prasyarat mendapat izin dan sertifikat laik fungsi sebelum mendirikan bangunan dan gedung, termasuk diantaranya menghapus pasal 27 dan pasal 31 UU No 28 Tahun 2002 yang secara khusus memberikan kewajiban aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dan lansia.
Semua ketentuan berupa Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) ini kemudian dijanjikan akan dimuat di dalam Peraturan Pemerintah. Bahkan berbagai proses ini akan dipercepat pula lewat jalan kemudahan pengurusan secara online.
Menanggapi hal tersebut Sekretaris Fraksi PKS ini kembali mengingatkan, dengan adanya ketentuan definitif dalam UU masih sering menemukan kelolosan banyak bangunan yang tidak sesuai prasyarat UU Nomor 28 Tahun 2002. Apalagi, kata Ledia, kalau tidak tertera di dalam UU, tentu semakin tidak ada rasa keharusan memenuhi ketentuan sebelum mengajukan permohonan perizinan dan sertifikat laik fungsi ini.
Ia mencontohkan langsung pada Gedung DPR/MPR RI. “UU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, saat itu sekitar tahun 2015, saya tanyakan, apakah Gedung DPR ini memiliki sertifikat laik fungsi? Dijawab secara tegas oleh orang PU ada, tetapi pada kenyataannya Gedung DPR ini kan tidak ramah disabilitas, juga lansia, bahkan toilet yang ada tidak bisa dimasuki pengguna kursi roda,” ungkapnya.
“Jadi dimana letak laik fungsinya sementara ada syarat yang tidak terpenuhi yaitu syarat aksesibilitas yang padahal tercantum dalam UU? Sampai akhirnya baru dalam satu dua tahun terakhir mulai direnovasi, dibuat sarana-sarana yang akan mengakomodir aksesibilitas tersebut, dibuat ramp dan saat ini tengah dibuat eskalator,” imbuhnya.
Sebab itu, legislator dari Jawa Barat I ini lantas menegaskan apabila segala ketentuan prasyarat akan dimasukkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah maka NSPK-nya haruslah berisi semua rincian teknis secara lengkap dan rinci.
Ledia menjelaskan, semua ketentuan prasyarat teknis yang ada dalam Undang-Undang eksisting No 28 Tahun 2002 Tentang Bangungan Gedung dan yang diamanahkan dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas harus tertera secara jelas, lengkap, rinci. Sebab, menurutnya, daya paksa Peraturan pemerintah tidak sekuat UU.
“Kalau tanpa uraian teknis yang jelas, lengkap dan rinci ini akan semakin menghambat implementasi di lapangan,” katanya.
Tak hanya itu, anggota komisi X DPR ini juga menegaskan agar Sertifikat Laik Fungsi tidak hanya diberikan sekali untuk selamanya, melainkan harus ada evaluasi secara berkala.
“Pemberian Sertifikat Laik fungsi pada dasarnya harus jelas standarnya, nampak identifikasi resiko historisnya, dan harus nampak pula tingkat kepatuhannya. Maka SLF ini harus pula dievaluasi secara berkala untuk mengantisipasi perubahan-perubahan baik secara fisik bangunan maupun peraturan. Kalau ini dilakukan kita bisa bersama mencegah RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini hadir dengan meninggalkan para penyandang disabilitas di luar kepedulian kita,” pungkasnya. (Bie)