Jakarta, JurnalBabel.com – Komisi III DPR menerima surat jalan buron terpidana kasus Bank Bali, Djoko Tjandra yang dengan mudah masuk dan keluar Indonesia dengan aman.
Dokumen surat jalan yang masih tertutup dan disegel tersebut diterima Komisi III dari Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/7/2020).
Anggota Komisi III DPR Wihadi Wiyanto mengatakan pihaknya dalam waktu dekat akan memanggil pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Imigrasi terkait menerima surat buronan Djoko Tjandra tersebut.
“Imigrasi dipanggil lagi. Kepolisian yang mencabut red notice dipanggil lagi. Jaksa dipanggil juga karena Djoko Tjandra terpidana,” kata Wihadi saat dihubungi, Selasa (14/7/2020).
Menurut Wihadi, setelah rapat tersebut dilakukan maka Komisi III akan melihat perkembangan dan kordinasinya seperti apa. Kalau bermasalah dan harus didalami lebih lanjut, sebut dia, DPR bisa menggunakan haknya untuk membentuk Panitia Khusus atau Pansus.
“Kalau memang ada yang harus di dalami perlu ditindaklanjuti lebih jauh ya tentu ada hal lain yang dilakukan. Misalnya bisa saja dilakukan pembentukan Panitia Kerja (Panja), bisa Pansus, bisa-bisa saja,” ujar politisi Partai Gerindra ini.
Legislator dari daerah pemilihan Jawa Timur ini menambahkan bahwa saat ini pembentukan Pansus belum diperlukan. Pasalnya, tegas dia, pihaknya masih ingin melihat perubahan yang dilakukan oleh Imigrasi, Kepolisian, Kejaksaan, dalam memburu koruptor.
“Kalau saat ini belum, kita masih lihat progresnya setelah rapat nanti,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Herman Hery menyatakan tindak lanjut dari diterimanya surat tersebut maka pihaknya akan panggil institusi penegak hukum Kepolisian dan Kejaksaan.
Sebelum memanggil institusi penegak hukum yang mengeluarkan surat jalan Djoko Tjandra tersebut, pihaknya akan terlebih dahulu bersurat kepada pimpinan DPR yang berwenang menyurati instansi mitra.
“Kami harus bersurat 5 hari sebelum jadwal pemanggilan. Berarti sudah melewati masa reses, dua hari lagi. Sesuai UU MD3, DPR boleh mengadakan rapat dengar pendapat di masa reses jika ada permasalahan yang urgent. Menurut kami, kasus Djoko Tjandra ini kasus superurgent. Ini menyangkut wajah kewibawaan negara,” katanya.
Herman Hery mengatakan, Komisi III yang bermitra dengan para penegak hukum merasa perlu menggelar rapat dengar pendapat agar semua pihak bisa memberikan penjelasan dan Komisi III bisa membuat rekomendasi-rekomendasi sesuai tupoksi.
“Hari ini juga atau maksimal besok pagi, kami sudah berkirim surat ke pimpinan DPR untuk meminta izin memanggil pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Imigrasi Kemenkumham soal siapa-siapa yang dipanggil akan kami bicarakan, tapi ketiga institusi ini agar semuanya terang benderang,” katanya.
Dikatakan politisi PDIP ini, dokumen yang masih tertutup dan disegel tersebut akan dibuka dalam rapat gabungan sehingga menjadi tahu dari institusi mana surat jalan tersebut, siapa yang menandatangani, dan atas dasar apa mengeluarkan surat jalan bagi Djoko Tjandra yang merupakan buron kakap. “Bisa kami tanyakan kepada semua pihak yang hadir dalam rapat gabungan tersebut,” katanya.
Herman Hery menegaskan bahwa Komisi III tidak mempunyai muatan apapun, selain untuk menjalankan fungsi pengawasan terkait kasus Djoko Tjandra. ”Saya menjamin urusan Djoko Tjandra kami akan buka seluas-luasnya. Tidak ada hal yang kami tutup-tutupi. Kita kerjakan profesional,” katanya.
Tersangka Djoko Tjandra pertama kali dicegah bepergian ke luar negeri pada 24 April 2008. Red notice dari Interpol atas nama Joko Tjandra kemudian terbit pada 10 Juli 2009.
Pada 29 Maret 2012 terdapat permintaan pencegahan Djoko Tjandra ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI berlaku selama 6 bulan.
Kemudian pada 12 Februari 2015 terdapat permintaan DPO dari Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia terhadap Joko Tjandra.
Ditjen Imigrasi lalu menerbitkan surat perihal DPO kepada seluruh kantor imigrasi ditembuskan kepada Sekretaris NCB Interpol dan Kementerian Luar Negeri.
Pada 5 Mei 2020, terdapat pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa ‘red notice’ atas nama Joko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak tahun 2014.
Ditjen Imigrasi menindaklanjuti hal tersebut dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. Namun pada 27 Juni 2020 Kejaksaan Agung meminta penerbitan DPO sehingga nama yang bersangkutan dimasukkan dalam sistem perlintasan dengan status DPO.
(Bie)
Editor: Bobby